Arsip untuk Agustus, 2012

PBB Avicennia

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

Laporan Praktikum III                                   Asisten: Anggraeni Ashory Suryani

m.k. Pengetahuan Bahan Baku

Industri Hasil Perairan

 

ANALISIS PROKSIMAT, EKSTRAKSI, DAN UJI FITOKIMIA PADATUMBUHAN API-API (Avicennia spp.)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

 

Tanggal: 13 Maret-17 April 2012

 

ABSTRAK

Tumbuhan api-api adalah salah satu jenis tumbuhan mangrove yang umum dijumpai di Indonesia. Tumbuhan ini dapat digunakan untuk keperluan pengobatan dan farmasi. Praktikum analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia pada tumbuhan api-api dan senyawa bioaktif yang terdapat di dalamnya, serta membandingkan komposisi tumbuhan api-api dengan tumbuhan mangrove lainnya. Praktikum analisis proksimat dan ekstraksi dilakukan pada hari Selasa, 13 Maret 2012, sedangkan uji fitokimia dilakukan pada hari Selasa, 17 April 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil analisis proksimat menunjukkan daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar 5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,42 %. Batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 55 %, kadar abu sebesar 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein sebesar 2,9115 %. Uji fitokimia pada daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidrokuinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin. Hasil ekstraksi yang diperoleh sebesar 4,3812 gram untuk daun dan       3,0163 gram untuk kulit batang tumbuhan api-api.

 

Kata kunci:  ekstraksi, fitokimia,kadar lemak, proksimat, tumbuhan api-api

 


PENDAHULUAN

 

            Indonesia memiliki jenis mangrove yang beragam. Menurut Wibowo et al. (2009) Indonesia memiliki 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon,     5 jenis palma, 19 jenis pemanjat,       44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit dan 1 jenis paku. Sebanyak 202 dari jenis tersebut, 43 jenis (diantaranya   33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu) ditemukan sebagai mangrove sejati (true mangrove), sementara jenis lain ditemukan di sekitar mangrove dikenal sebagai asociate mangrove.

Salah satu jenis mangrove yang banyak dijumpai di Indonesia  adalah api-api (Avicennia spp.). Data Ditjen INTAG pada tahun 1984 menyebutkan Indonesia memiliki mangrove dalam kawasan hutan seluas 4,25 juta ha. Hasil interpretasi citra  landsat tahun 1992 luas mangrove yang tersisa sebesar 3,812 juta ha (Martodiwirjo 2004). Hasil penelitian Ditjen RRL pada tahun 2005 mengatakan luas hutan mangrove Indonesia tersisa  sebanyak 9,2 juta ha. Produksi tumbuhan api-api dalam luas hutan mangrove di Indonesia mencapai setengah dari total keseluruhan luas hutan mengrove (Wiroatmodjo et al. 2000). Peranan api-api adalah sebagai tumbuhan pioneer atau perintis yang menempati zonasi terluar dari hutan mengrove (Zamroni dan Rohyani 2008). Klasifikasi Avicennia spp. menurut Wibowo et al. (2009) adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Plantae

Divisi               : Spermatophyta

Kelas               : Dycotyledone

Ordo                : Myrtales

Famili              : Verbenaceae

Genus              : Avicennia

Spesies            : Avicennia spp.

Tumbuhan Avicennia spp. memiliki nama lokal diantaranya    api-api putih, api-api abang, sia-sia putih, sie-sie, pejapi, nyapi, hajusia, dan pai. Avicennia spp.  berbentuk belukar atau pohon yang tumbuh tegak atau menyebar, dengan ketinggian pohon bisa mencapai 30 meter. Mangrove ini memiliki sistem perakaran horizontal yang rumit dan berbentuk pensil (berbentuk asparagus), akar nafas tegak. Kulit kayu memiliki tekstur halus dengan burik hijau-abu dalam bagian kecil  (Wiroatmodjo et al. 2000). Tumbuhan api-api memiliki kemampuan untuk menempati dan tumbuh pada berbagai habitat pasang-surut, bahkan di tempat asin sekalipun. Jenis ini merupakan salah satu jenis tumbuhan yang paling umum ditemukan di habitat pasang-surut (Zamroni dan Rohyani 2008).

Beberapa jenis Avicennia spp. dapatmenghasilkan bahan untuk keperluan pengobatan dan farmasi          (Wibowo et al. 2009). Hal ini yang membuat perlu dilakukannya analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia pada tumbuhan Avicennia spp. untuk mengetahui komponen bioaktif yang terkandung dalam Avicennia spp. melalui pengujian fitokimia. Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada standar zat makanan (Tilman et al. 2001).

Tujuan praktikum ini adalah melakukan analisis proksimat, ekstraksi, dan uji fitokimia kualitatif pada tumbuhan Avicennia spp. serta membandingkan komposisi senyawa bioaktif yang terkandung dalam daun dan kulit batang Avicennia spp.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum analisis proksimat dan ekstraksi dilakukan pada hari Selasa, 13 Maret 2012, sedangkan uji fitokimia dilakukan pada hari Selasa, 17 April 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan  yang  digunakan pada praktikum estraksi dan uji proksimat Avicennia spp. adalah tumbuhan Avicennia spp., asam sulfat 2N, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, dan metanol. Bahan yang diperlukan pada analisis kadar lemak Avicennia spp. adalah K2SO4, HgO, H2SO4, H2O2, asam borat, dan HCl.

Alat yang  digunakan  adalah rotary vacuum evaporator, erlenmeyer 250 ml, gelas ukur, pisau, telenan, alumunium foil, timbangan analitik, kapas, cawan porselen, oven, desikator, timbangan analitik, kertas saring, kapas, selongsong lemak, labu lemak, tabung Soxhlet, kompor listrik, tanur pengabuan, orbital shaker, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Praktikum pada Avicennia spp.  dimulai dengan analisis proksimat bahan. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar abu pada Avicennia spp.   Analisis kadar lemak, dilakukan dengan pemasukan sampel ke dalam kertas saring yang pada kedua ujung bungkusnya ditutup dengan kapas bebas. Setelah ditutup, kertas saring kemudian dimasukkan ke dalam labu lemak. Labu lemak dimasukkan ke dalam tabung Soxhlet dan direfluks selama 6 jam. Setelah proses refluks labu lemak kemudian dikeringkan pada oven dengan suhu 105 oC. Diagram alir analisis kadar lemak disajikan pada Gambar 1.

 

 

Pemasukkan dalam labu lemak, ruang ekstraktor soxhlet, dan penyiraman dengan n-heksana

Perefluksan selama 6 jam

Pengeringan labu lemak dan pendinginan di desikator

Penghancuran Avicennia spp.

Penimbangan sampel sebesar 25 gr

Analisis proksimat

Pemasukkan dalam kertas saring dan selongsong lemak

 

Kadar lemak

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1  Diagram alir analisis kadar lemak kulit batang dan daun Avicennia spp.

Ekstraksi Avicennia spp. dilakukan dengan penimbangan masing-masing sampel sebesar          25 gram. Sampel yang telah dihancurkan dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Sampel ditambahkan pelarut metanol 1:3. Labu erlenmeyer kemudian ditutup dengan kapas dan alu. Maserasi dilakukan selama 48 jam dengan kecepatan 150 rpm. Hasil maserasi kemudian disaring menggunakan kertas saring. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 2.

Sampel

 

 

Penimbangan sampel sebesar 25 gr

Penghancuran sampel

Pemasukan dalam erlenmeyer

 

Penambahan pelarut 75 ml

 

Penutupan dengan kapas

 

Maserasi 48 jam 150 rpm

 

Penyaringan kertas saring Whatman 42

 

Hasil ekstraksi

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2   Diagram alir ekstraksi Avicennia spp.

Uji fitokimia terdiri dari berbagai uji seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret.

Alkaloid

Sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan 3 pereaksi yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan warna merah hingga jingga. Hasil positif pada pereaksi Meyer menghasilkan warna putih kekuningan, dan hasil positif pereaksi Wagner akan menghasilkan warna endapan cokelat.

Steroid/Triterpenoid

Sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform. Sampel kemudian diteteskan dengan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Warna merah yang terbentuk pertama kali dan berubah menjadi warna biru dan hijau menunjukkan hasil positif terhadap uji.

Flavonoid

Sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg. Warna merah, kuning, atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.

Saponin (Uji Busa)

Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diletakkan di dalam air yang telah mendidih. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan sebanyak     1 tetes HCl 2 N. Hasil positif  menunjukkan adanya saponin pada suatu bahan.

Fenol hidrokuinon

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dalam 20 ml etanol 70 %. Larutan yang dihasilkan diambil 1 ml untuk diuji dengan FeCl3 5 %. Warna hijau atau hijau biru yang dihasilkan menunjukkan adanya fenol.

Uji Molish

Prosedur kerja uji molish yaitu sampel diteteskan dengan 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat. Adanya lapisan berwarna ungu pada sampel menunjukkan uji positif molish.

Uji Benedict

Prosedur kerja uji benedict dilakukan dengan sampel yang diteteskan ke larutan benedict, dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna merah, kuning, hijau yang terbentuk menunjukkan uji positif.

Uji Biuret

Prosedur kerja uji biuret yaitu 1 ml sampel ditambahkan dengan 4 ml pereaksi biuret kemudian dikocok. Warna ungu yang dihasilkan menunjukkan adanya ikatan peptida pada sampel.

Uji Ninhidrin

Prosedur kerja uji ninhidrin yaitu 2 ml sampel ditambahkan dengan larutan ninhidrin 0,1 %, kemudian dipanaskan selama 10 menit. Larutan yang berwarna biru menunjukkan hasil positif asam amino.

Uji Tanin

Prosedur kerja uji tanin yaitu sampel yang ada ditambahkan tetes demi tetes larutan FeCl3 hingga didapatkan perubahan warna larutan menjadi merah yang menandakan uji positif.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis proksimat dilakukan untuk mengidentifikasi komposisi kimia dari tumbuhan api-api (Avicennia spp.). Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung nilai total digestible nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara tepat, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan  (Utomo 2000).

Analisis proksimat saat praktikum dilakukan pada daun dan kulit batang Avicennia spp. Hasil analisis proksimat daun dan batang tumbuhan api-api disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1   Hasil  analisis proksimat daun          dan batang Avicennia spp.

Jaringan Lemak

(%)

Protein

(%)

Air

(%)

Abu

(%)

Kulit batang 0.8 2.9115 55 6.7
Daun 13.8 3.4179 69.35 5.3

Tabel 1 menunjukkan kulit batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 55 %, kadar abu 6,7 %, kadar lemak sebesar 0,8 %, dan kadar protein sebesar 2,9115 %. Daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar  5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,4179 %.

Pengujian kadar lemak menunjukkan tumbuhan api-api mengandung lemak dalam kadar yang cukup rendah yaitu 0,8 % pada kulit batang dan 13,8 % dalam daun. Kadar lemak yang rendah dapat disebabkan kandungan air tumbuhan api-api yang sangat tinggi, sehingga secara proporsional persentase kadar lemak akan turun secara drastis.            Yunizal et al. (1998) dalam          Erliza (2006) mengatakan kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak. Hubungan tersebut mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak, apabila kadar air yang terkandung di dalam bahan cukup tinggi. Kadar lemak di daun tumbuhan api-api lebih tinggi dibanding di batang. Hidayat (2002) mengatakan hal ini disebabkan adanya lapisan lilin yang terdapat di daun. Kadar lemak tumbuhan api-api Avicennia marina (0,34 %) lebih rendah dibanding Avicennia alba   (0,60 %). Perbedaan ini dapat terjadi karena pengaruh beberapa faktor, yaitu umur, hábitat, ukuran dan makanan.

Hasil pengujian kadar protein menunjukkan bahwa batang tumbuhan api-api memiliki protein dalam jumlah     2,9115 % dan daun 3,4 %. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan daun tumbuhan api-api Avicennia lanata yang mengandung protein sebesar    9,08 % (Wibowo et al. 2009). Variasi ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu hábitat, umur, makanan yang dicerna, laju metabolisme, laju pergerakan, dan laju perkembangan.

Kadar abu  merupakan campuran dari komponen anorganik atau mineral yang terdapat dalam suatu bahan. Tumbuhan terdiri dari 96 % bahan organik dan air, sedangkan sisanya merupakan unsur-unsur mineral. Proses pembakaran akan membakar bahan organik namun komponen anorganik tidak terbakar         (Winarno 2008). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan tumbuhan api-api mengandung kadar abu sebesar 6,7 % pada batang dan sekitar 5,3 % pada daun. Menurut Handayani (2006)  batang memiliki kadar abu yang lebih tinggi karena bersifat salt accumulation, sedangkan daun bersifat salt accumulation dan            salt filtration. Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat dan lingkungan hidup yang berbeda. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme yang hidup di dalamnya. Setiap organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam bahan. Jumlah kadar air dalam suatu bahan ikut menentukan kestabilan dari bahan tersebut. Kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir untuk berkembang biak (Winarno 2008). Kadar air pada tumbuhan api-api sangat tinggi      (>50 %). Air pada tumbuhan    api-api lebih banyak terdapat di daun dibanding di batang.

Ekstraksi adalah proses untuk menghasilkan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisisa nabati atau simplisisa hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Erliza 2006). Tujuan ekstraksi adalah memisahkan bahan padat dan bahan cair suatu zat dengan bantuan pelarut. Ekstraksi dapat memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi bahan alam umumnya dilakukan untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Tohir 2010).

Metode akstraksi yang digunakan dalam praktikum adalah ekstraksi tunggal. Ekstraksi tunggal hanya menggunakan 1 jenis pelarut. Praktikum tumbuhan api-api Avicennia spp. menggunakan pelarut polar yakni metanol. Handoko (1995) dalam Hidayat (2002) mengatakan pemilihan metanol sebagai pelarut didasarkan beberapa pertimbangan yakni selektivitas, kelarutan, kerapatan, reaktivitas, dan titik didih. Metanol memiliki beberapa keunggulan sebagai pelarut yakni memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar, beda kerapatan yang signifikan dengan tumbuhan api-api sehingga mudah dipisahkan. Metanol tidak bersifat racun, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, dan mudah didapatkan. Pelarut metanol memiliki titik didih yang tidak begitu tinggi yakni 65 oC sehingga mudah larut dalam panas. Metanol memiliki massa jenis 0,791 g/ml, dan konstanta dielektrik sebesar 33.

Hasil ekstraksi yang diperoleh pada saat praktikum sebesar        4,3812 gram untuk daun dan       3,0163 gram untuk kulit batang. Hasil ekstraksi menurut Harborne (1984) dalam Erliza (2006) sangat bergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel, kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, serta perbandingan jumlah pelarut terhadap jumlah sampel.

Jenis ekstraksi bahan alam yang umum dilakukan adalah ekstraksi secara panas dengan cara melakukan refluks dan penyulingan uap air dan ekstraksi secara dingin dengan cara maserasi, perkolasi, dan alat soxhlet (Harbone 1987 dalam Erliza 2006).

Prinsip ekstraksi secara soxhletasi dengan melakukan ekstraksi secara berkesinambungan. Cairan penyari dipanaskan sampai mendidih. Uap penyari akan naik melalui pipa samping, kemudian diembunkan lagi oleh pendingin tegak. Cairan penyari turun untuk menyari zat aktif dalam simplisia. Cairan penyari jika mencapai sifon, maka seluruh cairan akan turun ke labu alas bulat dan terjadi proses sirkulasi, demikian seterusnya sampai zat aktif yang terdapat dalam simplisia tersari seluruhnya yang ditandai jernihnya cairan yang lewat pada tabung sifon (Erliza 2006).

Ekstraksi secara perkolasi dilakukan dengan cara dibasahkan 10 bagian simplisia dengan derajat halus yang cocok, menggunakan 2,5 bagian sampai 5 bagian cairan penyari dimasukkan dalam bejana tertutup sekurang-kurangnya 3 jam. Massa dipindahkan sedikit demi sedikit ke dalam perkolator, ditambahkan cairan penyari. Perkolator ditutup dibiarkan selama 24 jam, kemudian kran dibuka dengan kecepatan 1 ml permenit, sehingga simplisia tetap terendam. Filtrat dipindahkan ke dalam bejana, ditutup dan dibiarkan selama 2 hari pada tempat terlindung dari cahaya (Tohir 2010).

Ekstraksi secara maserasi dilakukan dengan cara memasukkan 10 bagian simplisia dengan derajat yang cocok ke dalam bejana, kemudian dituangi dengan penyari    75 bagian, ditutup dan dibiarkan selama 5 hari, terlindung dari cahaya sambil diaduk sekali-kali setiap hari lalu diperas dan ampasnya dimaserasi kembali dengan cairan penyari. Penyarian diakhiri setelah pelarut tidak berwarna lagi, lalu dipindahkan ke dalam bejana tertutup, dibiarkan pada tempat yang tidak bercahaya, setelah dua hari lalu endapan dipisahkan (Erliza 2006).

Ekstraksi secara refluks pada dasarnya adalah ekstraksi berkesinambungan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan cairan penyari dalam labu alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak yang dididihkan. Cairan penyari akan menguap, uap tersebut akan diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam simplisia tersebut, demikian seterusnya. Ekstraksi ini biasanya dilakukan 3 kali selama 4 jam (Harbone 1987 dalam Erliza 2006)

Ekstraksi secara penyulingan dapat dipertimbangkan untuk menyari serbuk simplisia yang mengandung komponen kimia yang mempunyai titik didih yang tinggi pada tekanan udara normal, yang pada pemanasan biasanya terjadi kerusakan zat aktifnya (Dirjen POM 2012).

Prinsip Rotavapor dilakukan dengan proses pemisahan ekstrak dari cairan penyarinya dengan pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari labu alas bulat, cairan penyari dapat menguap 5-10 ºC di bawah titik didih pelarutnya disebabkan oleh karena adanya penurunan tekanan. Uap larutan penyari akan menguap naik ke kondensor dengan bantuan vakum evaporator dan mengalami kondensasi menjadi molekul-molekul cairan pelarut murni yang ditampung dalam labu alas bulat penampung.

Digestimerupakan maserasi kinetik (dengan pengadukan kontinu) yang dilakukan pada suhu lebih tinggi dari suhu ruangan, secara umum dilakukan pada suhu 40 ºC – 50 ºC. Infusa merupakan proses ekstraksi dengan merebus sampel (khususnya simplisia) pada suhu 90 oC.

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif dalam suatu bahan (Wibowo 2009). Uji fitokimia yang dilakukan pada batang dan daun tumbuhan api-api disajikan pada   Tabel 2.

Tabel 2 Uji fitokimia pada kulit batang dan daun Avicennia spp.

Uji

Batang

Daun

Alkaloid

+

Dragendrof

+

Meyer

Wagner

+

Steroid

+

Flavonoid

+

Saponin

Tanin

+

Molisch

+

+

Bannedict

+

Fenol H.

+

+

Ninhidrin

+

+

Biuret

Uji fitokimia pada daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidroquinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin.

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai analgetik (menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi peredaran darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika lokal. Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang tergolong dalam kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan pada tumbuhan yang tergolong dalam kelompok gimnospermae misalnya paku-pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne 1987 dalam           Tohir2010). Alkaloid pada tumbuhan dipercaya sebagai hasil metabolisme dan merupakan sumber nitrogen. Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu lama     (Lenny 2006 dalam Tohir 2010). Daun tumbuhan api-api positif terhadap alkaloid sementara batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil yang negatif. Wibowo et al. (2009) mengtakan batang dan daun tumbuhan mangrove jenis Avicennia alba positif terhadap alkaloid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan perbedaan hábitat, makanan yang didapat, dan kesalahan praktikum.

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Terpenoid memiliki beberapa nilai kegunaan bagi manusia, antara lain minyak atsiri sebagai dasar wewangian dan rempah-rempah sebagai cita rasa dalam industri makanan. Fungsi terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur pertumbuhan, karotenoid sebagai pewarna dan memiliki peran membantu fotosintesis. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Adapun contohnya adalah sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987 dalam Tohir 2010). Daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil negatif pada uji steroid/triterpenoid sedangkan batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove Avicennia alba, Avicennia lanata,dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji steroid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid terdapat pada seluruh bagian tanaman termasuk pada buah, tepung sari dan akar. Flavonoid merupakan inhibitor kuat terhadap peroksidasi lipida, sebagai penangkap oksigen atau nitrogen yang reaktif dan juga mampu menghambat aktivitas enzim lipooksigenase dan siklooksigenase (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Hasil praktikum menunjukkan daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil negatif pada uji flavonoid sedangkan batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove seperti   Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji flavonoid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Hasil praktikum menunjukkan daun dan kulit batang tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji fenol hidrokuinon. Wibowo et al. (2009) mengatakan tumbuhan mangrove seperti   Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji fenol hidrokuinon kecuali pada daun. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Tanin merupakan komponen zat organik derivat polimer glikosida yang terdapat dalam bermacam-macam tumbuhan, terutama tumbuhan berkeping dua (dikotil). Monomer tanin adalah digallic acid dan            D-glukosa. Tanin diharapkan mampu mensubstitusi gugus fenol dan resin fenol formaldehida yang berguna untuk mengurangi pemakaian fenol sebagai sumberdaya alam tak terbarukan. Tanin dapat menghambat aktivitas beberapa enzim pencernaan seperti tripsin, kimotripsin, amilase, dan lipase. Tanin juga terbukti dapat menghambat absorpsi besi           (Tohir 2010). Hasil praktikum menunjukkan daun tumbuhan api-api negatif pada uji tanin dan kulit batang menunjukkan hasil positif. Menurut Wibowo et al. (2009) tumbuhan Avicennia alba, Avicennia lanata, dan Avicennia marina menunjukkan hasil positif pada uji tanin kecuali pada kayu. Perbedaan hasil yang didapatkan disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis sel darah merah  (Erliza 2006). Hasil praktikum menunjukkan daun dan batang tumbuhan api-api negatif terhadap uji saponin. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Wibowo et al. (2009) yang mengatakan tumbuhan api-api positif mrngandung saponin. Perbedaan dalam praktikum disebabkan perbedaan varietas tumbuhan api-api, perbedaan habitat, dan perbedaan perlakuan.

Uji molish dan benedict digunakan untuk mengetehui ada tidaknya gula pereduksi. Hasil uji molish menunjukkan daun dan kulit batang tumbuhan api-api positif mengandung gula pereduksi. Hasil uji benedict negatif terhadap batang tumbuhan api-api. Hal ini menunjukkan batang mengandung gula pereduksi ketosa karena gula pereduksi ketosa tidak dapat terdeteksi oleh uji benedict.

Uji biuret dan ninhidrin digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan ikatan peptida dalam bahan. Uji ninhidrin menunjukkan hasil positif dapat daun dan batang. Hasil positif ditunjukkan oleh warna larutan yang berubah menjadi biru. Hasil yang didapat sesuai dengan hasil uji proksimat, karena daun dan batang memiliki kadar protein berkisar antara 2,9 % sampai 3,4 %. Hasil uji biuret tidak sesuai dengan percobaan lainnya. Kesalahan dalam praktikum dapat disebabkan oleh kontaminasi bahan, kesalahan prosedur, dan ketidaktelitian dalam percobaan.

 

SIMPULAN DAN SARAN

     Hasil analisis proksimat yang dilakukan pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) menunjukkan daun tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 69,35 %, kadar abu sebesar  5,3 %, kadar lemak sebesar 13,8 %, dan kadar protein sebesar 3,4179 %. Batang tumbuhan api-api memiliki kadar air sebesar 55 %, kadar abu sebesar 6,7 %, kadar lemak sebesar  0,8 %, dan kadar protein sebesar 2,9115 %. Ekstraksi pada tumbuhan api-api digunakan memisahkan bahan padat dan bahan cair dengan bantuan pelarut. Filtrat hasil ekstraksi digunakan sebagai sampel uji fitokimia tumbuhan api-api. Daun tumbuhan api-api menunjukkan hasil positif pada uji alkaloid, molish, benedict, ninhidrin, dan fenol hidroquinon sedangkan hasil uji fitokimia pada batang tumbuhan api-api memiliki hasil positif pada uji molish, fenol hidrokuinon, ninhidrin, steroid, flavonoid, dan tanin.

Pengujian fitokimia pada tumbuhan api-api (Avicennia spp.) perlu menggunakan bagian lain dalam tumbuhan tersebut agar perbandingan komposisi kimia  Avicennia spp. dapat diketahui. Diperlukan pengujian kuantitatif pada uji fitokimia agar persentase kandungan bioaktif bahan dapat diketahui.

 

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen POM. 2012. Ekstraksi. Jakarta: Ditjen POM Departemen Kesehatan RI.

Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan. 2005. Inventarisasi dan Identifikasi Hutan Bakau (Mangrove) yang Rusak di Indonesia. Jakarta: PT Insan Mandiri Konsultan.

 

Erliza N. 2006. Ekstraksi Giberalin dari Akar Eceng Gondok. [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

 

Handayani T. 2006. Bioakumulasi logam berat dalam mangrove Rhizophora mucnata dan Avicennia marina di Muara Angke Jakarta. Teknik Lingkungan 7(3): 266-270

 

Hidayat R. 2002. Kajian Ritme Pertumbuhan Tanaman Manggis (Garcinia mangostana L.) dan Faktor-faktor yang Mempengaruhi. [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

 

Martodiwirjo, S. 2004.  Kebijaksanaan Pengelolaan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove dalam Pelita VI.  [Bahan Diskusi Panel Pengelolaan Hutan Mangrove] Denpasar: Mangrove Center, 26-28 Oktober 2004.

 

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S. 2001. IlmuMakananTernakDasar. Yogyakarta: Gajah mada University Press.

 

Tohir AM. 2010. Teknik ekstraksi dan aplikasi beberapa pestisida nabati untuk menurunkan palatabilitas ulat grayak (spodoptera litura fabr.). Buletin Teknik Pertanian 15 (1): 37-40.

 

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM

 

Wibowo C, Kusmana C, Suryani A, Hartati Y, Oktadiyani P. 2009. Pemanfaatan Pohon Mangrove Api-Api (Avicennia spp.) sebagai bahan Pangan dan Obat. [Prosiding Seminar Hasil-Hasil penelitian]. Bogor:  Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

 

Zamroni Y dan Rohyani IS. 2008. Produksi Serasah Hutan Mangrove di perairan Teluk Sepi, Lombok Barat. Biodiversitas IX(4): 284-287.

 

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

 

Wiroatmodjo P, Alrasyd H, Salim S, Mlia F, Meity S. 2000. Pemanfaatan dan Rehabilitasi Hutan Mangrove Indonesia. Prosiding seminar strategi nasional pengelolaan hutan mangsrove. Hal 84-96.

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

Lampiran 1 Morfologi tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

Lampiran  2  Perhitungan  kadar air tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Pengulangan 1:    cawan kosong                             = 27,54    gram

Sampel awal                                = 5,00      gram

Berat cawan + sampel kering      = 29,07    gram

Pengulangan 2:    cawan kosong                             = 25,44    gram

Sampel awal                                = 5,00      gram

Berat cawan + sampel kering      = 26,99    gram

 

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1     = 69,40%

Pengulangan 2     = 69,00%

Kadar air total     = 69,35%

 

KULIT BATANG

Pengulangan 1:    cawan kosong                             = 19,64    gram

Sampel awal                                = 5,00      gram

Berat cawan + sampel kering      = 21,87    gram

Pengulangan 2:    cawan kosong                             = 24,96    gram

Sampel awal                                = 5,00      gram

Berat cawan + sampel kering      = 27,23    gram

 

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1     =55,4%

Pengulangan 2     =54,6%

Kadar air total     =55,0%

 

 

Lampiran  3  Perhitungan kadar abu tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Pengulangan 1:    cawan kosong                             = 28,69    gram

Sampel awal                                = 5,00      gram

Berat cawan + sampel kering      = 28,96    gram

Pengulangan 2:    cawan kosong                             = 27,55    gram

Sampel awal                                =  5,00     gram

Berat cawan + sampel kering      =  27,81   gram

Kadar abu     = berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1= 5,4%

Pengulangan 2= 5,2%

 

KULIT BATANG

Pengulangan 1:    cawan kosong                             =29,66     gram

Sampel awal                                =5,00       gram

Berat cawan + sampel kering      =29,99     gram

Pengulangan 2:    cawan kosong                             =24,63     gram

Sampel awal                                =5,00       gram

Berat cawan + sampel kering      =24,97     gram

Kadar abu     = berat abu/berat sampel awal x 100%

 

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1=6,6%

Pengulangan 2=6,8%

 

Lampiran  4  Perhitungan kadar protein tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Labu awal       : 76,99 gram

Labu akhir       : 77,68 gram

N HCl             : 0,1446 N

FP                    : 10

V HCl             : 0,27 ml

 

 

 

 

KULIT BATANG

N HCl             : 0,1446 N

FP                    : 10

V HCl             : 0,23 ml

 

 

 

Lampiran  5  Perhitungan kadar lemak tumbuhan api-api (Avicennia spp.)

DAUN

Labu awal       : 76,99 gram

Labu akhir       : 77,68 gram

Berat Sampel   : 5        gram

 

Kadar lemak %= 13,8 %

KULIT BATANG

Labu awal       : 77,65 gram

Labu akhir       : 77,69 gram

Berat Sampel   : 5        gram

 

Kadar lemak %= 0,8 %

Lampiran 6 Hasil uji fitokimia

Tabel hasil uji fitokimia tanaman api-api (Avicennia spp.)

Uji

Hasil Uji (+/-)

Warna

Batang Daun Batang Daun
Alkaloid        
 a. Dragendroff + jingga Kuning
 b. Meyer kuning kuning
 c. Wagner + cokelat hita
Steroid + kuning Hijau kemerahan
Flavonoid + Abu-abu kuning
saponin Tidak ada busa Tidak ada busa
Fenol hidrokuinon + + Hijau pekat Hijau
Tanin + hitam Merah
molisch + + Cincin ungu Cincin ungu
benedict + + Merah bata Hijau
ninhidrin + cokelat Biru kehijauan

 

PBB Belut

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

Laporan Praktikum IV                                                   Asisten: Euis Nur Aisyah

m.k. Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan

 

PENGUKURAN RENDEMEN DAN ANALISIS KADAR ABU PADA BELUT  SAWAH (Monopterus albus)

 

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

 

8 Mei 2012

 

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di Indonesia adalah belut sawah (Monopterus albus). Belut sawah merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun 2008 berdasarkan buku laporan statistik perikanan budidaya provinsi Jawa Barat sebesar 123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton. Praktikum analisis proksimat pada belut sawah (Monopterus albus) bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia pada belut sawah. Praktikum analisis proksimat pada hari Selasa, 8 Mei 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil perhitungan rendemen menunjukkan ikan belut memiliki berat rata rata 56 gram, rendemen daging sebesar 44,11%, tulang 13,89%, kepala 17,30%, kulit 6,65%, dan jeroan sebesar 18,05%. Analisis proksimat yang dilakukan pada belut menunjukkan ikan belut mengandung kadar air sebesar 78,81%, kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar lemak sebesar 0,12%.

 

Kata kunci: analisis proksimat, belut sawah, rendemen

 


PENDAHULUAN

 

            Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di negara Indonesia adalah ikan belut sawah (Monopterus albus). DJPB (2012) menyatakan belut adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton. Sarwono (2003) menyatakan belut merupakan salah satu komoditas ekspor yang mendapat devisa tinggi di Taiwan dan RRC.

Belut sawah tersebar luas di Asia Tenggara dan Cina. Organisme ini di Pulau Jawa dikenal dengan nama belut, lindung, dan welut, sedangkan di Madura dikenal dengan nama beludi, dan di Sumatera disebut belan. Belut merupakan komoditas ekspor yang tempat hidupnya berada di daerah berlumpur seperti sawah, rawa dan sungai-sungai. Klasifikasi belut sawah menurut Saanin (1984) dalam Santoso (2001) adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Kelas               : Pisces

Ordo                : Synbranchoidae

Famili              : Synbranchidae

Genus              : Monopterus

Spesies            : Monopterus albus

Ikan belut sawah mempunyai bentuk tubuh panjang dan bulat seperti ular, tapi tidak bersisik dan memiliki mata yang kecil. Sirip dubur dan sirip punggung berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari. Belut tidak memiliki sirip perut dan sirip dada. Kulitnya licin karena mengeluarkan lendir. Bagian dada pada belut lebih panjang dari bagian ekor. Tinggi badan belut kurang lebih 1/20 kali panjang tubuhnya. Belut memiliki punggung berwarna kehijauan dan bagian perut kekuningan, lengkung insang terdiri dari tiga pasang, bibirnya berupa lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulut, dan gigi belut kecil runcing berbentuk kerucut (Sundoro 2005)

            Ikan belut betina umumnya berukuran panjang antara 10-29 cm, dengan warna kulit lebih cerah atau lebih muda (hijau muda pada punggung dan putih kuning pada perutnya) dibanding ikan belut jantan. Belut betina umumnya memiliki umur kurang dari sembilan bulan. Ikan belut jantan rata-rata memiliki panjang lebih dari 30 cm, berumur lebih dari sembilan bulan dan memiliki warna kulit lebih gelap atau abu-abu (Sarwono 1994 dalam Santoso 2001) Morfologi ikan belut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Warna kulit belut terlihat berkilau dengan gurat sisi yang tampak jelas untuk menjaga keseimbangan belut. Ukuran kepala belut biasanya lebih besar atau sedikit lebih tinggi daripada tubuhnya. Belut sawah termasuk hewan karnivora, memiliki lambung yang besar, palsu, tebal, dan elastis. Hasil analisis isi lambung belut mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makan utama annelida yang umumnya ditemukan di persawahan dataran rendah dan larva insekta yang umumnya ditemukan di daerah persawahan dataran tinggi (Sarwono 2003).

Belut berbeda dengan sidat. Sidat memiliki sirip dada, punggung, dan sirip dubur yang sempurna. Sidat memiliki sisik-sisik kecil yang berkumpul dalam kumpulan kecil yang masing-masing kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap kumpulan-kumpulan di sampingnya (Wang et al. 2009). Perbedaan belut dengan sidat adalah belut tidak memiliki sirip, kecuali sirip ekor yang juga tereduksi. Ciri khas belut yang lain adalah tidak bersisik, dapat bernafas dari udara, bukaan insang sempit, tidak memiliki kantung renang, dan tulang rusuk. Belut merupakan hewan air darat, sementara kebanyakan sidat hidup di laut, walaupun ada pula yang di air tawar (Qing et al. 2008).

Belut sawah dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir dan mengangkat lendir yang masih terikat pada kulit. Pembersihan  lendir pada belut membutuhkan tiga kali pemberian abu gosok. Pengkulitan daging belut  dapat dilakukan bagi yang ahli (Sundoro 2005).

Komposisi kimia dan kegunaan suatu bahan dapat diketahui dengan menggunakan analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan menggolongkan komponen yang ada pada makanan (Utomo 2000). Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung  dalam makanan (Tilman et al. 2001). Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah mengetahui rendemen dan analisis proksimat pada belut sawah.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum analisis proksimat dan rendemen pada belut sawah  (Monopterus albus) dilakukan pada hari Selasa, 8 Mei 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu belut sawah (Monopterus albus), es batu, dan abu gosok. Alat yang digunakan untuk preparasi dan perhitungan kadar abu belut sawah adalah wadah, telenan, pisau, tissue, alumunium foil, cawan porselen, oven, desikator, tanur, timbangan analitik, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Praktikum ikan belut sawah (Monopterus albus) dimulai persiapan sampel berupa 2 ekor belut yang telah mati. Belut kemudian ditimbang dengan timbangan analitik. Belut dipreparasi dengan dilumuri abu gosok. Pemberian abu gosok berguna untuk menghilangkan lendir pada belut. Belut di fillet sepanjang tulang punggung dan di-skinless untuk menghilangkan kulit. Bagian belut berupa kepala, daging, tulang, kulit dan jeroan kemudian dipisahkan untuk ditimbang. Hasil perhitungan kemudian diolah untuk  mendapatkan nilai rendemen belut.

Analisis kadar abu pada belut sawah dimulai dengan pencacahan sampel yang kemudian dibungkus dengan alumunium foil. Sampel kemudian ditimbang. Cawan kosong dikeringkan ke dalam tanur lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan ditanurkan pada suhu 600 oC. Cawan yang berisi abu kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang dengan timbangan analitik. Diagram alir prosedur kerja kadar abu disajikan pada Gambar 1.

Pemasukkan sampel dalam cawan, pemijaran, pemasukan 1 jam dalam tanur 600 oC

 

Penimbangan

Sampel belut sawah

Pengeringan 1 jam dalam oven 105 oC

Pendinginan dalam desikator ±15 menit

 

Penimbangan

Kadar abu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1  Diagram alir analisis kadar abu ikan belut

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Utomo 2000). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen dihitung untuk memperkirakan persentase bagian tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan. Hasil pengukuran rendemen ikan belut sawah disajikan pada Lampiran 3.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging ikan belut sawah rata-rata yang didapat sebesar 44,11%. Penelitian yang dilakukan              Sulistyarini (2002) menyatakan rendemen daging belut adalah     60,25%. Jumlah tersebut termasuk kategori yang cukup besar karena menurut Tanikawa (1971) dalam       Sulistyarini (2007) rendemen ikan secara umum sekitar 40%. Menurut Sulistyarini (2007) semakin kecil ukuran ikan maka proporsi berat yang dapat dimakan semakin besar. Persentase rendemen yang bervariasi antar jenis ikan ditentukan oleh bentuk tubuh, makanan, dan umur yang dimiliki ikan.

Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 17,30%, rendemen kulit sebesar 6,65%, rendemen kepala sebesar 17,29% dan  rendemen tulang sebesar 13,89%. Rendemen terbesar terdapat pada daging yakni 44,11%. Rendemen terkecil terdapat pada kulit sebesar 6,65%. Diagram pie rendemen ikan belut disajikan pada Lampiran 4.

Pemanfaatan belut umumnya digunakan sebagai ikan konsumsi. Menurut Sulistyarini (2007) belut berpotensi dijadikan kerupuk kulit dan kamoboko. Belut juga dapat dijadikan sosis ikan, bakso, dan berbagai variasi makanan lain. Hal ini disebabkan kandungan protein belut yang tergolong tinggi sekitar 14 gram dalam 100 gr belut. Kepala belut berpotensi untuk dijadikan obat kuat, jeroan belut dapat dimanfaatkan sebagai pakan, kulit belut dapat dijadikan bahan baku pembuatan kerupuk, dan tulang belut dapat dijadikan tepung ikan.

Analisis proksimat bertujuan mengidentifikasi komposisi kimia belut sawah (Monopterus albus). Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung total digestible nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan  (Utomo 2000).

Analisis proksimat yang dilakukan menunjukkan ikan belut sawah mengandung kadar protein sebesar 15,76%, kadar lemak sebesar 0,12%, kadar air sebesar 78,81%, dan kadar abu sebesar 0,33%. Komposisi kimia belut tiap 100 gram menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) mengandung protein sebesar 14 gram, lemak 27 gram, kalori 303 kal, kalsium 20 mg, forfor 200 mg, besi    1 mg, vitamin A 1600 SI, dan kadar air sebesar 58 gram.

Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Proses pembakaran menyebabkan bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Mineral yang paling penting dalam bahan pangan diantaranya kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), mangan (Mn), kobalt (Co), besi (Fe), tembaga (Cu), natrium (Na), klor (Cl), kalium (K), yodium (I), dan flour (F). Prinsip pengujian kadar abu (total mineral) dalam bahan pangan ditentukan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 oC – 600 oC          (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan kadar abu yang terdapat pada belut sawah sebesar 0,33%. Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010) menyatakan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi kandungan kadar mineral sebesar 7%. Hal ini menunjukkan kadar abu yang dimiliki belut sawah tergolong rendah. Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) menyatakan belut memiliki kandungan kalsium sebesar 20 mg/100 gram, fosfor sebesar 200 mg/100 gram, dan zat besi sebesar 1 mg/100 gram. Jika dalam dinyatakan dalam bentuk persentase, total mineral yang dikandung belut     < 0,33% dari total berat bahan.

Hasil kadar abu yang didapat jauh lebih tinggi dibandingkan hasil dari Sarwono (1994) dalam Santoso (2001). Hal ini dapat disebabkan pengaruh pemberian abu gosok pada belut. Rahman (2004) menyatakan abu gosok merupakan sisa bahan anorganik yang didapat dari pembakaran suatu bahan, sehingga abu gosok juga mengandung sejumlah  mineral.

Proses preparasi ikan belut sawah yang tidak memperhatikan aspek sanitasi memungkinkan mineral dalam abu gosok turut tercampur dalam daging belut. Hal ini dapat terlihat dari persentase kadar abu yang didapat. Kadar abu yang didapat dari praktikum sebesar 0,33% sementara kadar abu belut sawah menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) <0,25%. Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Ozogul dan Ozogul (2005) dalam Sulistyarini (2007) komposisi kimia suatu bahan pangan ditentukan oleh jenis spesies, makanan, musim, letak geografis, tingkat kematangan gonad, dan ukuran ikan. Kadar mineral merupakan salah satu komposisi kimia bahan pangan, sehingga faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi kadar mineral suatu bahan. Santoso (2001) menyatakan setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme yang hidup di dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

 

SIMPULAN DAN SARAN

            Belut sawah merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dapat dibudidayakan. Saat ini belut sudah menjadi komoditas ekspor ke beberapa negara. Belut memiliki kandungan gizi yang baik. Analisis proksimat pada belut dilakukan untuk mengetahui kadar air, kadar protein , kadar lemak, dan kadar abu belut. Belut sawah (Monopterus albus) memiliki kadar air sebesar 78,81%, kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar lemak sebesar 0,12%.

Praktikum analisis proksimat belut perlu menggunakan belut dari spesies yang berbeda agar dapat mengetahui perbandingan komposisi kimia dari spesies yang berbeda tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

[DJPB] Ditjen Perikanan Budidaya. 2012. Belut, komoditas ekspor yang sudah dapat dibudidayakan.http://www.kkp.go.id. (13 Mei 2012).

 

Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bandung: Alfabeta.

 

Qing H, Li L, Tao W, Daming Z, Qing-Yin Z. 2008. Purification and partial characterization of glutathione transferase from the teleost Monopterus albus. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology & Pharmacology. Vol 147 (1): 96-100.

 

Rahman S. 2004. Belut untuk nyeri ulu hati hingga vitalitas. htpp://www.kompas.co.id. (13 Mei 2012).

 

Sarwono B. 2003. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

 

Santoso HB. 2001. Belut Pemeliharaan dan Pembesaran.Yogyakarta: Kanisius.

 

Sulistyarini D. 2007. Pemanfaatan belut (Monopterus albus) dalam pembuatan keripik. [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor.

 

Sundoro RMS. 2005. Belut Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta: Agromedia.

 

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S. 2001. IlmuMakananTernakDasar. Yogyakarta: Gajah mada University Press.

 

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM

 

Wang X, Gong H, Yang  J, Lin T. 2009. Purification of Anguilla anguilla serum imunoglobulin by euglobulin precipitation. Fujian Journal of Agricultural Sciences; Vol 9 (03): 103-108.

 

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

Lampiran 1 Morfologi belut  sawah (Monopterus albus)

Sumber : Koleksi pribadi (2012)

Lampiran  2  Perhitungan kadar abu belut sawah (Monopterus albus)

Pengulangan 1:    cawan kosong                             = 23,85    gram

Sampel awal                                = 3,10      gram

Berat cawan + sampel kering      = 23,86    gram

 

Pengulangan 2:    cawan kosong                             = 40,19    gram

Sampel awal                                =  3,06     gram

Berat cawan + sampel kering      =  40,22   gram

 

Kadar abu     = berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1

Kadar abu =

Kadar abu = 0,32%

 

Pengulangan 2

Kadar abu =

Kadar abu = 0,33%

Kadar abu rata-rata     =  (0,32%  + 0,33%)/ 2

Kadar abu rata-rata     =  0,325% 0,33%

 

Lampiran 3 Hasil rendemen belut sawah (Monopterus albus)

Kelompok Ulangan Berat awal (gr)

Rendemen

Daging (%) Tulang (%) Kepala (%) Kulit (%) Jeroan (%)
1 A 68 47,06 10,29 11,77 8,82 22,06
  B 47 55,32 17,02 10,64 6,38 10,64
2 A 57 49,12 12,28 12,28 7,02 19,30
  B 42 52,38 11,90 11,90 4,76 19,00
3 A 55 50,90 12,7 7,27 9,09 20,04
  B 62 43,50 14,51 4,83 8,06 29,03
4 A 42 47,60 14,28 11,90 4,76 21,46
  B 54 50,00 9,25 9,25 7,40 24,00
5 A 72 51,39 25,00 6,94 8,33 8,34
  B 49 51,03 28,57 8,16 6,12 6,12
6 A 46 54,34 15,22 8,70 6,52 15,22
  B 57 50,80 14,04 12,28 8,77 14,04
7 A 65 46,20 12,30 6,20 6,20 29,10
  B 63 41,30 14,30 7,90 7,90 28,60
8 a 46 47,83 10,87 6,52 4,35 30,43
  b 74 54,05 10,81 10,81 10,81 3,52
Rata-rata 56 44,11 13,89 17,29 6,65 18,05

 

Lampiran 4 Diagram pie rendemen belut sawah (Monopterus albus)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan: (      ) rendemen kulit   ; (      ) rendemen jeroan; (      ) rendemen daging; (      ) rendemen tulang dan kepala

 

 

 

 

PBB Cobia

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

Laporan Praktikum II                                           Asisten : Tri Kalbu Ardiningrum S.

m.k. Pengetahuan Bahan Baku

Industri Hasil Perairan

 

PENGUJIAN KADAR PROTEIN IKAN COBIA

(Rachycentron canadum)

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

 

28 Februari 2012

 

ABSTRAK

Ikan cobia (Rachycentroncanadum) merupakan ikan ekonomis penting di Asia. Ikan cobia belum banyak dikenal oleh masyarakat Indonesia. Ikan cobia merupakan salah satu komoditas  ekspor yang bernilai tinggi. Analisis proksimat dilakukan pada ikan cobia bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia dari ikan cobia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu. Praktikum pengujian parameter kimia pada ikan cobia dilakukan pada Selasa, 28 Februari 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Metode yang digunakan dalam pengamatan adalah perhitungan morfometrik, penghitungan rendemen, dan analisis proksimat. Hasil uji morfometrik menunjukkan panjang total ikan cobia adalah 54,5 cm dan tinggi total ikan cobia sebesar 16,8 cm. Hasil rendemen daging ikan cobia sebesar 29,50%, rendemen jeroan 13,28%, rendemen kulit 7,06%, dan  rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73%. Analisis proksimat ikan cobia yang dibahas meliputi kadar air, kadar protein, kadar lemak, dan kadar abu yang terkandung pada ikan cobia. Hasil percobaan menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata sebesar 73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1%, dan kadar abu sebesar 1,09%, dengan bobot utuh 1967,55 gram.

 

Kata kunci :analisisproksimat,ikan cobia,kadar protein, morfometrik, rendemen

 

 

PENDAHULUAN

 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas laut yang besar. KKP (2010) mengatakan Indonesia memiliki luas  laut sekitar 5.176.800 km2dengan volume produksi perikanan tangkap sebesar 5.384.418 ton pada tahun 2010. Besarnya luas laut membuat Indonesia kaya akan sumberdaya perairan laut. Salah satunya adalah ikan cobia (Rachycentroncanadum).

Ikan cobia dikenal dengan nama Ling, Lemonfish, Crebeater dan Cobio. Ikan ini termasuk ikan pelagis yang hidup di perairan tropis dan sub tropis. Ikan cobia banyak ditemukan di Samudra Pasifik, Atlantik dan sebelah barat daya Meksiko. Ikan cobia di Indonesia umumnya dijumpai di perairan Bali (Priyono et al. 2005).

Klasifikasi ikan cobia menurut Saanin (1984) adalah:

Kingdom  : Animalia

Filum        : Chordata

Kelas        : Actinopterygii

Ordo        : Perciformes

Famili       : Rachycentridae

Genus       : Rachycentron

Spesies     : Rachycentroncanadum

Ikan cobia memiliki bentuk tubuh menyerupai torpedo serta memiliki kepala dan mulut relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sisik berukuran kecil dan terbenam dalam kulit yang tebal. Sirip punggung panjang dengan duri dan memiliki jari-jari dengan rumus D VI—IX, 30-33. Ikan cobia memiliki 6-9 duri keras pendek yang terpisah satu dengan lainnya di depan sirip punggung. Sirip dubur cukup panjang dengan duri dan jari-jari berumus A II—III, 23-25 (Ditty 2002).

Badan ikan cobia berwarna coklat gelap dengan bagian bawah badan berwarna kekuning-kuningan. Ikan cobia memiliki dua garis tebal keperakan sepanjang tubuhnya pada ikan yang masih muda. Ukuran ikan di alam yang ditemukan sekitar 80-100 cm dengan panjang maksimum 180 cm (FAO 2012).

Ikan cobia memiliki rasa yang sangat lezat dan mudah diolah menjadi masakan. Warna daging ikan cobia putih dan banyak diminati di mancanegara. Hal ini yang membuat budidaya ikan cobia mulai diminati masyarakat. Harga jual ikan cobia untuk pasar ekspor mencapai 7-8 USD (Kaiser dan Holt 2004).

Tingginya potensi yang dimiliki ikan cobia membuat perlu dilakukannya pengamatan komposisi kimia ikan cobia sehingga pemanfaatannya dapat dilakukan secara maksimal. Salah satu metode yang dapat digunakan adalah analisis proksimat. Tujuan dilakukannya analisis proksimat pada ikan cobia adalah mengetahui komposisi kimia dari ikan cobia, termasuk analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum pengujian kadar protein ikan cobia (Rachycentron canadum), dilakukan pada hari Selasa, 28 Februari 2012. Praktikum dilaksanakan pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan pada praktikum pengujian parameter kimia (analisis proksimat) adalah ikan cobia (Rachycentroncanadum). Bahan lain yang digunakan adalah H2SO4, asamborat dan HCl. Alat yang digunakan adalah wadah tempat ikan, pisau bedah, tissue, lap, timbangan digital, cawan proselen, kertas saring, alat destilasi lengkap, burret, kompor listrik, labu Kjeldahl, pipet ukur, penggaris, penghitung waktu dan alat tulis.

ProsedurKerja

Praktikum pengujian kadar protein dilakukan dengan pematian ikan cobia dengan cara ditusuk pada bagian medula oblongata. Ikan yang telah mati kemudian ditimbang bobotnya. Pengukuran morfometrik kemudian dilakukan pada ikan cobia meliputi panjang total dan tinggi badan. Ikan cobia kemudian dihitung nilai rendemennya. Bobot utuh ditimbang dengan timbangan digital. Jeroan,  kulit, serta tulang dan kepala masing-masing dipisahkan dan ditimbang, lalu dilakukan perhitungan nilai rendemen.

Analisis proksimat dilakukan pada ikan cobia meliputi analisis kadar air, kadar lemak, kadar protein dan kadar abu. Perhitungan kadar protein ikan cobia dilakukan dengan penimbangan 5 gram daging ikan cobia yang telah dicacah. Analisis kadar protein dibagi menjadi tiga tahapan yakni destruksi, destilasi dan titrasi. Tahap awal, sampel didestruksi dengan H2SO4pada suhu 410 oC hingga sampel berwarna hijau bening. Filtrat hasil destruksi kemudian didestilasi dengan penambahan larutan NaOH hingga sampel berubah warna menjadi hijau. Filtrat hasil destilasi, dititrasi sampai terjadi perubahan warna menjadi merah seperti warna semula. Diagram alir pengujian protein kasar pada ikan cobia disajikan pada Gambar 1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1 Diagram alir analisis kadar protein ikan cobia

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Morfologi adalah ilmu tentang ukuran ataupun bentuk makhluk hidup (Nishida et al. 2000). Hasil praktikum menunjukkan ikan cobia memiliki bentuk tubuh menyerupai torpedo (streamline), memiliki kepala dan mulut relatif lebar dibandingkan bagian tubuh lainnya. Sirip pada ikan cobia yaitu sirip punggung (dorsal), sirip dada (pektoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal) dan sirip ekor (kaudal). Sirip dorsal pertama berupa duri yang berjumlah 7. Menururt Faulk & Holt (2008) ikan cobia memiliki duri 6-9 pada sirip dorsal pertama. Morfologi ikan cobia disajikan pada Lampiran 1.

Morfometrik adalah ilmu yang mempelajari tentang bagian dari tubuh ikan yang dapat diukur (Turan 2000). Pengukuran morfometrik ikan cobia meliputi panjang total dan tinggi badan. Panjang total diukur dari ujung mulut hingga ujung terakhir dari sirip kaudal. Tinggi badan diukur dari tinggi terpanjang dari pangkal sirip dorsal. Panjang  total yang didapat adalah 54,5 cm dan  tinggi badan  sebesar 16,8 cm. Perbandingan antara panjang total dan tinggi badan ikan cobia yang didapat adalah adalah 3:1. Hasil yang didapat  sesuai   dengan  pendapat FAO (2012) yang mengatakan ikan cobia mempunyai rumus jari-jari sirip          DVI—IX, 30-33, A II—III, 23-25 sisik  LL 35-39, dan perbandingan panjang total dan tinggi badan sekitar 3:1.

Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Sentosa 2004). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian tubuh ikan yang dapat digunakan. Hasil pengukuran rendemen ikan cobia disajikan pada Lampiran 2.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging yang dimiliki ikan cobia adalah sekitar  29,50%. Menurut Faulk & Holt (2008) rendemen daging ikan cobia berkisar antara 20% – 40%. Persentase rendemen yang bervariasi antara jenis ikan ditentukan oleh bentuk tubuh dan umur yang dimiliki ikan.

Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 13,28%, rendemen kulit sebesar 7,06%, dan  rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73%. Rendemen tertinggi terdapat pada kepala dan tulang. Hal ini disebabkan saat filleting masih terdapat daging ikan cobia yang menempel sehingga mempengaruhi nilai akhir pengukuran rendemen. Perbandingan persentase rendemen antar bagian tubuh ikan cobia disajikan pada Lampiran 2.

Pemanfaatan ikan cobia saat ini umum digunakan sebagai ikan konsumsi. Ikan cobia merupakan ekspor unggulan di negara Vietnam. Hal ini dikarenakan ikan cobia memiliki rasa yang lezat (FAO 2012).

Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung dalam makanan (Tilman et al. 2001).

Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung Total Digestible Nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan  (Utomo 2000).

Pengujian kadar protein ikan cobia dilakukan dengan metode Kjeldahl. Metode ini dilakukan dengan tiga tahapan yakni destruksi, destilasi dan titrasi. Destruksi sampel menggunakan asam kuat yakni H2SO4. Asam kuat menurut Utomo (2000) digunakan untuk memutus ikatan makro molekul dari suatu bahan menjadi unsur-unsur yang sederhana. Proses destruksi umumnya menggunakan katalisator seperti Selenium untuk mempercepat laju reaksi. Selenium berfungsi mempercepat proses oksidasi karena Selenium dapat menaikkan titik didih H2SO4 dan mudah melakukan perubahan dari valensi tinggi ke valensi rendah ataupun sebaliknya. Reaksi yang terdapat pada proses destruksi adalah

CxHyOzN+H2SO4(NH4)2SO4+CO2+ H2O

Destilasi sampel menggunakan NaOH dan asam borat. Larutan NaOH digunakan untuk memecah ikatan ammonium sulfat menjadi ammonia (NH3). Ammonia yang dibebaskan selanjutnya akan ditangkap oleh asam borat 4% dalam jumlah yang berlebihan (Tilman et al. 2001). Reaksi pada tahap destilasi adalah

(NH4)2SO4+NaOHNH3+Na2SO4 +H2O

NH3 + H3BO3NH4H2BO3 + O2

Tahap titrasi menggunakan kelebihan H2SO4 dengan larutan HCl. Hasil titrasi mengubah warna larutan dari biru menjadi biru kehijauan (Muray 2002). Reaksi pada tahap titrasi adalah sebagai berikut:

NH4H2BO3 + HCl  NH4Cl + H3BO3

Metode Kjeldahl yang digunakan dalam perhitungan kadar protein memiliki beberapa keunggulan yaitu merupakan metode umum yang digunakan dalam perhitungan kadar protein, cocok digunakan secara semimikro karena hanya memerlukan jumlah sampel dan pereaksi dalam jumlah kecil, tidak memerlukan waktu analisis yang panjang dan tidak memerlukan alat yang rumit dalam perhitungannya. Kelemahan yang dimiliki metode Kjeldahl yakni mengasumsikan semua nitrogen bahan pangan adalah protein, kenyataannya tidak semua nitrogen berasal dari protein. Kelemahan yang kedua yang adalah asumsi bahwa kadar nitrogen  dalam protein adalah 16 %. Kenyataannya tidak selalu kadar nitrogen yang terdapat pada suatu bahan pangan (khususnya ikan) adalah  16%. Kelemahan ketiga adalah menggunakan asam sulfat pekat pada suhu tinggi dapat menimbulkan bahaya yang cukup besar  (Muray 2002).

Hasil percobaan menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan air rata-rata sebesar 73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1% dan kadar  abu  1,09%. Menurut Faulk dan Holt (2008) ikan cobia  mengandung total protein sebesar   25,4%. Hasil pengujian kadar protein ikan cobia berbeda jauh dengan pendapat yang disampaikan Faulk dan Holt (2008). Perbedaan kadar protein yang diperoleh dapat disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan praktikum, perbedaan ras ikan cobia yang digunakan, habitat, jenis kelamin, umur dan makanan yang dikonsumsi setiap hari (Ozogul & Ozogul 2005).

Menurut Nurjanah (2011) ikan yang memiliki daging merah mengandung protein dalam jumlah yang lebih sedikit dibanding ikan yang mengandung daging putih. Ikan yang memakan makanan yang kaya protein akan memiliki kadar protein yang lebih tinggi dibanding ikan yang memakan makanan rendah protein. Umur juga menentukan kadar protein dari ikan. Jouvenile umumnya mengandung kadar protein rebih rendah dibanding ikan dewasa, karena hampir seluruh makan pada jouvenile digunakan untuk pertumbuhan, berbeda dengan ikan dewasa yang menggunkan makanan untuk perkembangan.

Pengujian analisis proksimat pada ikan cobia dapat memberikan pengetahuan mengenai komposisi kimia pada ikan tersebut sehingga pemanfaatan ikan cobia dapat dilakukan secara maksimal. Ikan cobia berpotensi dimanfaatkan sebagai suplemen perawatan kulit karena mengandung vitamin E yang tinggi. Menurut Faulk dan Holt (2008) ikan cobia mengandung vitamin E sekitar 10,2%.

SIMPULAN DAN SARAN

Analisis proksimat adalah suatu metode analisis kimia untuk mengidentifikasikan kandungan nutrisi pada bahan pangan. Praktikum analisis proksimat pada ikan cobia menunjukkan ikan cobia memiliki kandungan  air   rata-rata  sebesar   73,07%, kadar lemak sebesar 7,4%, kadar protein sebesar 8,1% dan kadar abu  sebesar  1,09%. Hasil uji morfometrik ikan cobia menunjukkan panjang total sebesar  54,5 cm dan tinggi total ikan cobia sebesar 16,8 cm. Hasil rendemen daging ikan cobia sebesar 29,50%, rendemen jeroan 13,28%, rendemen kulit 7,06%,  rendemen kepala dan tulang sebesar 46,73 %.

Metode kjeldahl hanya dapat menghitung kadar protein berdasarkan jumlah Nitrogen, sehingga diperlukan metode lain yang dapat mengukur daya cerna protein dari suatu bahan pangan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui persentase penyerapan protein yang dapat dilakukan oleh tubuh.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Ditty JG. 2002. Larval development, distribution, and ecology of cobia Rachycentron canadum in the northern Gulf of Mexico. Fishery Bulletin 90(1): 668-677.

 

[FAO] Food and Agriculture Organization. 2012. Cultured Aquatic Species Information Programme Rachycentron canadum(Linnaeus, 1766). www.fao.go.id. (12 Maret 2012).

 

Faulk CK dan Holt. 2008. Biochemical composition and quality of captive-spawned cobia Rachycentron canadum eggs. Aquaculture 279 (2008): 70-76.

 

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Data Statistik Perikanan Tangkap di Indonesia. www.kkp.go.id. (3 Maret 2012).

 

Kaiser JB dan Holt GJ. 2004. Cobia: a new species for aquaculture in the US. World Aquaculture, 35:12-14.

 

Muray RK. 2002. Harpers Biochemistry. USA: Prentice Hall International.

 

Nishida T, Y. Hayashi, Hashiguchi, dan SS Mansjoer. 2000. Distribution and identification of jungle fowl in Indonesia. The Origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock. Vol. 2 pp. 85-95.

 

Ozogul Y dan Ozogul F. 2005 Fatty acid profiles of commercially important fish spesies from the Mediterannean important fish species from the Mediterannean. J Food Chem 100: 1634-1638.

 

Priyono A, Slamet B, Sutarmat T. 2005. Pengamatan Beberapa Aspek Biologi Ikan Cobia (Rachycentron canadum) dari Perairan Bali Utara. [Prosiding]. Bali: Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut.

 

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.

 

Sentosa G. 2004. Pengaruh Lama Penyulingan terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Atsiri Daun Sereh Wangi. [skripsi]. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

 

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S. 2001. IlmuMakananTernakDasar. Yogyakarta: Gajah mada University Press.

 

Turan C. 2000.  A Note on The  Examination of  Morphometric Differentiation Among Fish  Populations: The Truss System.  Journal of The University of  Mustafa Kemal, Faculty of  Fisheries, Hatay-Turkey Vol 2B: 123-130.

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

Lampiran 1 Morfologi ikan cobia (Rachycentron canadum)

Sumber: FAO (2012)

 

 

Lampiran 2 Data persentase rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

Kelompok Bobot/

Ikan utuh

Berat jeroan Berat kepala dan tulang Berat kulit Berat daging

1

2713

407

1303

200

741

2

2713

407

1303

200

741

3

2713

407

1303

200

741

4

2713

407

1303

200

741

5

1222,1

188,7

536

78

420

6

1222,1

188,7

536

78

420

7

1222,1

188,1

536

78

420

8

1222,1

188,1

536

78

420

Rata-rata

1967,55

261,267

919,5

139

580,5

Persentase

13,2788

46,73325

7,064624

29,5037

 

Lampiran 3 Contoh perhitungan rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

Perhitungan rendemen daging

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lampiran 4 Diagram pie rendemen ikan cobia (Rachycentron canadum)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan:  (    (  ) rendemen tulang; (      ) rendemen jeroan; (      ) rendemen daging;

(       ) rendemen kulit

 

Lampiran 5 Diagram pie analisis proksimat ikan cobia (Rachycentron canadum)

Keterangan:  (    (  ) kadar lemak;        (      ) kadar abu;          (      ) rendemen daging;

(       ) kadar protein

 

 

Lampiran 6 Perhitungan kadar air ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui:  Bobot cawan kosong 1 = 21,16 gram

Bobot cawan kosong 2 = 27,55 gram

Sampel 1                       = 5,000 gram

Sampel 2                       = 5,060 gram

Berat cawan setelah 1   = 22,45 gram

Berat cawan setelah 2   = 28,97 gram

Kadar Air 1  :

Berat setelah dikeringkan       = 22,45 – 21,16 = 1,29

Kehilangan berat                     = berat sampel awal – berat setelah dikeringkan

= 5 – 1,29

= 3,71

Kadar Air 1                             = 3,71/5 x 100% = 74,2%

 

Kadar Air 2 :

Berat setelah dikeringkan       = 28,97 – 27,55 = 1,42

Kehilangan berat                     = berat sampel awal  berat setelah dikeringkan

= 5,06 – 1,42

= 3,64

Kadar Air 2                             = 3,64/5,06 x 100% = 71,94%

Kadar Air rata-rata =  = 73,07%

 

Lampiran 7 Perhitungan kadar abu ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui      : Sampel kering awal 1              = 22,45 gram

Sampel kering awal 2              = 128,97 gram

Sampel kering setelah 1          = 21, 22 gram

Sampel kering setelah 2          = 27,60 gram

Kadar Abu 1

Berat abu 1      =(berat sampel + cawan akhir) – (berat cawan kosong)

= 21,22 – 21,16

= 0,06

Kadar abu       = berat abu/berat sampel awal x 100%

= 0,06/5 x 100%

= 1,2%

Kadar Abu 2

Berat abu 1      =(berat sampel + cawan akhir) – (berat cawan kosong)

= 27,60 – 27,55

= 0,05

Kadar abu       = berat abu/berat sampel awal x 100%

= 0,05/5,06 x 100%

= 0,98%

Kadar abu rata-rata =  = 1,09%

 

 

Lampiran 8 Perhitungan kadar protein ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui:  ml HCl sampel         = 0,9500 ml

ml Blanko                 = 0,0000  ml

N HCl                      = 0,1013 N

Faktor pengenceran = 10,000   kali

Sampel                     = 1,0400 gram

 

 

 

8,1007%

Lampiran 9 Perhitungan kadar lemak ikan cobia (Rachycentron canadum)

Diketahui:       Labu lemak     = 74,50 gram

Labu akhir       = 74,87 gram

Berat Sampel   = 5 gram

 

 

 

PBB Genjer

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

Laporan Praktikum V                                                       Asisten: Silvia Handayani  

m.k. Pengetahuan Bahan Baku                                 

Industri Hasil Perairan           

 

PENGUJIAN KOMPONEN BIOAKTIF GENJER (Limnocharis flava)

 

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

 

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

 

Tanggal: 22 Mei 2012

 

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara agraris yang sangat kaya akan berbagai jenis tanaman, baik sayur-sayuran maupun buah-buahan. Salah satunya adalah genjer. Genjer (Limnocharis flava) merupakan tanaman terna, yang tumbuh di rawa atau kolam berlumpur yang banyak mengandung air. Komposisi kimia tanaman genjer tiap 100 gram bahan mengandung energi sebesar 33 kkal, protein kasar sebesar 1,7 gram, lemak kasar sebesar 0,2 gram, karbohidrat sebesar 7,7 gram, kalsium sebesar 62 mg, fosfor sebesar 33 mg, zat besi sebesar 2,10 mg, vitamin A sebesar      3.800 mg, vitamin B1 sebesar 0,070 mg, vitamin C sebesar 54 mg, dan air sebesar 90 gram. Pemanfaatan tanaman genjer diantaranya sebagai sayuran, pakan ternak, tanaman fitofiltrasi terhadap polusi air, tanaman penghias kolam, dan pupuk. Praktikum pengujian komponen bioaktif genjer (Limnocharis flava) dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif pada genjer. Praktikum dilakukan pada hari Selasa, 22 Mei 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil uji fitokimia pada daun tumbuhan genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid, fenol hidroquinon, dan benedict. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin, molish, biuret, dan ninhidrin. Fenol hidrokuinon dan gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada tanaman genjer.

 

Kata kunci:  bioaktif, fitokimia, genjer, sayuran, steroid

 


PENDAHULUAN

 

            Indonesia merupakan negara agraris yang sangat kaya akan berbagai jenis tanaman, baik sayur-sayuran maupun buah-buahan. Sayur dan buah sangat baik untuk dikonsumsi oleh tubuh, karena selain mengandung vitamin, sayur dan buah juga mengandung kadar serat yang tinggi. Salah satunya jenis sayur adalah genjer (Limnocharis flava). Genjer merupakan tanaman terna, yang tumbuh di rawa atau kolam berlumpur yang banyak mengandung air. Genjer berasal dari negara bagian di Amerika Serikat yang beriklim tropis. Tanaman genjer diperkenalkan ke Indonesia lebih dari satu abad yang lalu. Tanaman genjer merupakan tumbuhan rawa yang berakar dalam tanah, bergetah, dan menghasilkan tanaman baru dengan membesarkan tangkai bunganya sehingga terbentuk akar pada ujungnya. Genjer tumbuh di tempat-tempat yang terendam air, di parit-parit, kolam-kolam air tawar, dan sawah-sawah yang berair. Sawah merupakan tempat tumbuh genjer dalam jumlah yang sangat besar (Bergh 1994 dalam Rusydi 2010).             Klasifikasi tanaman genjer menurut Plantamor (2008) adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Plantae

Divisi               : Magnoliophyta

Subdivisi         : Angiospermae

Kelas               : Liliopsida

Ordo                : Alismatales

Family             : Limnocharitaceae

Genus              : Limnocharis

Spesies            : Limnocharis flava

Tanaman genjer memiliki umur lebih dari 1 tahun. Proses penanaman genjer dilakukan  dengan perendaman bagian tanaman ke dalam lumpur. Jenis tanaman ini tumbuh luas dengan merumpun, memiliki tinggi sekitar 30 – 80 cm. Genjer memiliki daun berbentuk bulat telur, tebal, dan berisi, dengan tangkai daun yang panjang, berwarna hijau muda, bersisi tiga, sisi di belakang ujung daun berpori dengan tepi berwarna keunguan, dan panjang daunnya berkisar 7,5 – 27 cm (Heyne 1997 dalam Alfa 2003)

            Genjer di Indonesia lebih banyak ditemukan di pulau Sumatera dan Jawa. Genjer di pulau Jawa terdapat di dataran rendah bagian barat sampai dengan ketinggian 1300 m di atas permukaan laut. Reproduksi tanaman genjer dapat dilakukan secara vegetatif dan biji. Reproduksi vegetatif dilakukan oleh kapsul yang menekuk ke arah air. Reproduksi secara biji terkandung dalam kapsul matang atau folikel (Alfa 2003)

            Menurut Heyne (1987) dalam Alfa (2003) di daerah Toba, genjer digunakan sebagai makanan ternak terutama babi. Tanaman genjer juga dapat dibudidayakan sebagai tanaman hias, selain itu genjer juga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu jenis sayuran. Menurut Alfa (2003) di Jawa Barat, daun-daun muda dan bunga majemuk yang belum mekar merupakan sayuran yang sering dijual di pasar. Pemanfaatan tanaman genjer secara umum diantaranya sebagai sayuran, pakan ternak, tanaman fitofiltrasi terhadap polusi air, tanaman penghias kolam, dan sebagai pupuk (Abilash et al. 2009). Tanaman genjer diolah menjadi makanan oleh masyarakat India dan sebagian besar Asia Tenggara dimana daunnya mengandung protein sekitar 1-1,6 % sebagai alternatif tanaman bayam (Haynes dan Les 2004).

            Tanaman genjer termasuk tanaman liar yang menghasilkan beberapa zat-zat metabolit sekunder yang dikenal sebagai zat bioaktif (Rosydi 2010). Beberapa jenis tanaman genjer dapatdigunakan untuk mengurangi dampat logam berat (Alfa 2003). Hal ini yang membuat perlu dilakukannya pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer. Tujuan praktikum ini adalah mengetahui komponen bioaktif pada genjer (Limnocharis flava) seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidroquinon, molish, benedict, biuret, dan ninhidrin.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer (Limnocharis flava) dilakukan pada hari Selasa, 22 Mei 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

 

Bahan dan Alat

Bahan  yang  digunakan pada praktikum adalah hasil ekstraksi tumbuhan genjer, kloroform, anhidra asetat, magnesium, HCl, asam sulfat 2N, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, pereaksi Wagner, pereaksi Molish, FeCl3, pereaksi Benedict, pereaksi Biuret, pereaksi Ninhidrin, dan etanol.

Alat yang  digunakan  adalah erlenmeyer 250 ml, pipet tetes, tabung reaksi, rotary vacuum evaporator, gelas ukur, alumunium foil, timbangan analitik, timbangan analitik, kertas saring, kapas, kompor listrik, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Praktikum pengujian komponen bioaktif pada tanaman genjer diawali dengan ekstraksi bahan. Metode ekstraksi yang digunakan merupakan ekstraksi tunggal dengan 1 jenis pelarut yakni etanol 95%. Penyaringan terhadap sampel kemudian dilakukan sebanyak 3 kali. Evaporasi pada sampel dilakukan selama kurang lebih 5 jam. Diagram alir proses ekstraksi disajikan pada Gambar 1.

 

 

Ekstraksi dengan etanol 95%

Genjer segar

preparasi

Penyaringan sebanyak 3 kali

 

Evaporasi selama 5 jam

 

Uji Fitokimia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1.  Diagram alir ekstraksi genjer (Limnocharis flava)

Hasil ekstraksi genjer kemudian diuji komponen bioaktinya melalui uji fitokimia. Uji fitokimia terdiri dari berbagai uji seperti alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret.

Uji Alkaloid

Sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji dengan 3 pereaksi yaitu Dragendorff, Meyer, dan Wagner. Hasil positif uji alkaloid dengan pereaksi Dragendorff menghasilkan warna merah hingga jingga. Hasil positif pereaksi Meyer menghasilkan warna putih kekuningan, dan hasil positif pereaksi Wagner akan menghasilkan warna endapan cokelat.

Uji Steroid/Triterpenoid

Sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform. Sampel kemudian diteteskan dengan 10 tetes anhidra asetat dan 3 tetes asam sulfat pekat. Warna merah yang terbentuk pertama kali dan berubah menjadi warna biru dan hijau menunjukkan hasil positif terhadap uji.

Uji Flavonoid

Sampel ditambahkan dengan serbuk magnesium sebanyak 0,1 mg. Warna merah, kuning, atau jingga yang terbentuk menunjukkan adanya flavonoid.

Uji Saponin (Busa)

Filtrat dimasukkan ke dalam tabung reaksi, kemudian diletakkan di dalam air yang telah mendidih. Busa yang stabil selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan sebanyak     1 tetes HCl 2 N. Hasil positif  menunjukkan adanya saponin pada suatu bahan.

Uji Fenol hidrokuinon

Sebanyak 1 gram sampel diekstrak dalam 20 ml etanol 70%. Larutan yang dihasilkan diambil 1 ml untuk diuji dengan FeCl3 5%. Warna hijau atau hijau biru yang dihasilkan menunjukkan adanya fenol.

 

Uji Molish

Prosedur kerja uji molish yaitu sampel diteteskan dengan 2 tetes pereaksi molisch dan 1 ml asam sulfat pekat. Adanya lapisan berwarna ungu pada sampel menunjukkan uji positif molish.

Uji Benedict

Prosedur kerja uji benedict dilakukan dengan sampel yang diteteskan ke larutan benedict, dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Warna merah, kuning, hijau yang terbentuk menunjukkan uji positif.

Uji Biuret

Prosedur kerja uji biuret yaitu 1 ml sampel ditambahkan dengan 4 ml pereaksi biuret kemudian dikocok. Warna ungu yang dihasilkan menunjukkan adanya ikatan peptida pada sampel.

Uji Ninhidrin

Prosedur kerja uji ninhidrin yaitu 2 ml sampel ditambahkan dengan larutan ninhidrin 0,1%, kemudian dipanaskan selama 10 menit. Larutan yang berwarna biru menunjukkan hasil positif asam amino.

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Genjer (Limnocharis flava) umumnya dimanfaatkan sebagai sayuran. Bagian tumbuhan genjer yang dimanfaatkan adalah daun yang umumnya berusia muda, karena daun genjer yang tua umumnya memiliki rasa yang pahit. Daun dan bunga tanaman genjer berkhasiat sebagai penambah nafsu makan. Hal ini disebabkan, tanaman genjer mengandung kardenolin, flavonoid, dan polifenol. Komposisi kimia tanaman genjer tiap 100 gram bahan menurut Rosydi (2010) yakni mengandung energi sebesar 33 kkal, protein kasar sebesar 1,7 gram, lemak kasar sebesar 0,2 gram, karbohidrat sebesar 7,7 gram, kalsium sebesar     62 mg, fosfor sebesar 33 mg, zat besi sebesar 2,10 mg, vitamin A sebesar 3.800 mg, vitamin B1 sebesar 0,070 mg,    vitamin C sebesar 54 mg, dan air sebesar 90 gram.

Prosedur pengujian komponen bioaktif genjer diawali dengan ekstraksi. Ekstraksi adalah proses untuk menghasilkan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisisa nabati atau simplisisa hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua pelarut diuapkan dan massa atau serbuk yang tersisa diperlakukan sehingga memenuhi baku yang telah ditetapkan (Ditjen POM 2012). Tujuan ekstraksi adalah memisahkan bahan padat dan bahan cair suatu zat dengan bantuan pelarut. Ekstraksi dapat memisahkan campuran senyawa dengan berbagai sifat kimia yang berbeda. Pelarut yang digunakan harus dapat mengekstrak substansi yang diinginkan tanpa melarutkan material lainnya. Ekstraksi bahan alam umumnya dilakukan untuk menarik komponen kimia yang terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju ekstraksi adalah tipe persiapan sampel, waktu ekstraksi, kuantitas pelarut, suhu pelarut, dan tipe pelarut (Tohir 2010).

Metode ekstraksi yang digunakan dalam praktikum adalah ekstraksi tunggal. Ekstraksi tunggal hanya menggunakan 1 jenis pelarut. Praktikum yang dilakukan pada tanaman genjer (Limnocharis flava) menggunakan pelarut polar yakni etanol dengan 3 kali penyaringan. Pemilihan etanol sebagai pelarut menurut Handoko (1995) dalam   Tohir (2010) didasarkan beberapa pertimbangan diantaranya selektivitas, kelarutan, kerapatan, reaktivitas, dan titik didih. Etanol memiliki beberapa keunggulan sebagai pelarut yakni memiliki kemampuan melarutkan ekstrak yang besar, beda kerapatan yang signifikan dengan genjer sehingga mudah dipisahkan. Etanol yang memiliki rumus molekul C2H5OH tidak bersifat racun, tidak eksplosif bila bercampur dengan udara, tidak korosif, dan mudah didapatkan. Pelarut etanol umumnya digunakan pada pelarut parfum atau pewangi ruangan. Pelarut etanol memiliki titik didih yang tidak begitu tinggi yakni 78,4 oC sehingga mudah larut atau terbakar dalam panas. Metanol memiliki massa jenis sekitar 0,789 g/ml (Myers dan Myers 2007).

Uji fitokimia dilakukan untuk mengetahui komponen bioaktif dalam suatu bahan (Tohir 2010). Uji fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, ninhidrin, dan biuret. Uji fitokimia yang dilakukan pada tumbuhan genjer disajikan pada   Tabel 2.

 

Tabel 1 Uji fitokimia pada genjer

Uji

Hasil

Alkaloid

 

Dragendrof

 

Meyer

 

Wagner

 

Steroid

 

+

Flavonoid

 

Saponin

 

Molisch

 

Bannedict

 

+

Fenol Hidroquinon

 

+

Ninhidrin

 

Biuret

 

Uji fitokimia pada genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid, benedict, dan fenol hidroquinon. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin, molish, ninhidrin, dan biuret.

Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder yang terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Alkaloid memiliki fungsi dalam bidang farmakologis antara lain sebagai analgetik (menghilangkan rasa sakit), mengubah kerja jantung, mempengaruhi peredaran darah dan pernafasan, antimalaria, stimulan uterus dan anaestetika lokal. Sumber senyawa alkaloid potensial adalah tumbuhan yang tergolong dalam kelompok angiospermae dan jarang atau bahkan tidak ditemukan pada tumbuhan yang tergolong dalam kelompok gimnospermae misalnya paku-pakuan, lumut dan tumbuhan tingkat rendah lain (Harborne 1987 dalam Tohir2010). Alkaloid pada tumbuhan dipercaya sebagai hasil metabolisme dan merupakan sumber nitrogen. Kebanyakan alkaloid berupa padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan berlangsung dalam waktu lama     (Lenny 2006 dalam Tohir 2010). Hasil praktikum yang dilakukan menunjukkan tumbuhan genjer negatif terhadap uji alkaloid. Hal ini sesuai dengan pendapat Rusydi (2010) yang menyatakan tumbuhan genjer tidak mengandung senyawa bioaktif alkaloid. Distribusi alkaloid terbatas pada tumbuhan tingkat tinggi, sekitar 20 % dari spesies angiospermae. Ketersediaan metabolit nitrogen yang sedikit pada tanaman diduga karena ketersediaan unsur dari metabolit nitrogen yang terbatas.

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik, yaitu skualena. Terpenoid memiliki beberapa nilai kegunaan bagi manusia, antara lain minyak atsiri sebagai dasar wewangian dan rempah-rempah sebagai cita rasa dalam industri makanan. Fungsi terpenoid bagi tumbuhan adalah sebagai pengatur pertumbuhan (seskuitertenoid abisin dan giberelin), karotenoid sebagai pewarna dan memiliki peran membantu fotosintesis. Steroid merupakan golongan dari senyawa triterpenoid. Adapun contohnya adalah sterol, sapogenin, glikosida jantung dan vitamin D. Steroid alami berasal dari berbagai transformasi kimia dari triterpena yaitu lanosterol dan saikloartenol. Senyawa steroid dapat digunakan sebagai bahan dasar pembuatan obat (Harborne 1987 dalam Tohir 2010). Praktikum yang dilakukan pada tumbuhan genjer menunjukkan tumbuhan ini positif terhadap uji steroid/triterpenoid. Hasil yang didapat tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Rusydi (2010). Menurut Rusydi (2010) genjer tidak mengandung steroid/triterpenoid. Perbedaan hasil yang didapatkan dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan.

Flavonoid umumnya terdapat dalam tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid merupakan inhibitor kuat terhadap peroksidasi lipida, sebagai penangkap oksigen atau nitrogen yang reaktif dan juga mampu menghambat aktivitas enzim lipooksigenase dan enzim siklooksigenase (Sirait 2007 dalam Tohir 2010). Flavonoid berperan sebagai bahan pemberi rasa dari rempah-rempah dan sayuran. Zat ini juga dapat memberi efek anti oksidasi pada hewan (Ujowundu et al. 2008). Flavonoid yang termasuk dalam komponen fenol menunjukkan fungsi bagi tanaman seperti pertahanan dari herbivora dan patogen, penyerapan cahaya, penarik pollinator,penghambat pertumbuhan dari tanman pesaing (Wildman 2001). Hasil percobaan menunjukkan genjer negatif terhadap uji flavonoid. Hasil yang tidak sesuai dengan pendapat Rusydi (2010), yang menyatakan flavonoid adalah komponen biokatif utama dari tumbuhan genjer, karena hampir ditemukan di seluruh bagian pada tumbuhan tersebut. Perbedaan hasil yang didapat dapat disebabkan oleh perbedaan hábitat, umur tanaman, makanan yang didapat oleh tumbuhan, dan konsentrasi reagen yang digunakan. Tanaman genjer diduga cenderung membentuk fenol hidroquinon dibanding flavonoid dalam metabolit sekundernya. Sintesis komponen flavonoid menurut       Rusydi (2010) dapat terbentuk dari asam amino protein melalui shikimate.

Fenol meliputi berbagai senyawa yang berasal dari tumbuhan dan mempunyai ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung satu atau dua gugus hidroksil. Kuinon adalah senyawa bewarna dan mempunyai kromofor dasar, seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon untuk tujuan identifikasi dapat dipilah menjadi empat kelompok, yaitu benzokuinon, naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Hasil praktikum menunjukkan tumbuhan genjer positif terhadap uji fenol hidroquinon. Hasil yang didapat sesuai dengan penelitian yang dilakukan Maisuthisakul et al. (2008) yang mengatkan total fenol pada tanaman genjer sebesar 5,4 mgGAE/g BDD.

Saponin adalah senyawa aktif permukaan kuat yang menimbulkan busa jika dikocok dalam air dan pada konsentrasi rendah sering menyebabkan heomolisis sel darah merah            (Tohir 2010). Hasil percobaan menunjukkan genjer negatif terhadap uji saponin. Hal ini sesuai dengan penelitian Rusydi (2010) yang mengatakan genjer tidak mengandung saponin. Komponen saponin tidak terdeteksi pada tanaman genjer karema unsur pembentuk saponin sangat terbatas pada tanaman genjer seperti aglikon.

Uji molish dan benedict digunakan untuk mengetahui ada tidaknya gula pereduksi. Hasil uji menunjukkan hasil negatif pada uji Molish dan hasil positif pada uji benedict. Menurut Rusydi (2010) genjer memiliki gula pereduksi yang kuat pada bagian daun dan batang. Gula pereduksi adalah glukosa dan gula-gula lain yang mampu mereduksi senyawa pengoksida (senyawa penerima elektron). Winarno (2008) mengatakan perbedaan hasil yang didapat dapat dikarenakan gula pereduksi yang terdapat pada sampel uji mengandung senyawa keton yang umumnya positif pada uji benedict.

Uji biuret dan ninhidrin digunakan untuk mengetahui ada tidaknya kandungan ikatan peptida dalam bahan. Hasil uji menunjukkan hasil negatif pada biuret dan nihidrin. Hasil yang didapat tidak sesuai dengan pendapat Rusydi (2010) yang menyatakan genjer positif terhadap nihidrin dan negatif pada biuret. Genjer mengandung protein kasar sebesar 1,7 gram tiap 100 gram bahan. Perbedaan hasil yang didapat menurut Rusydi (2010) karena asam amino yang terkandung dalam genjer dalam jumlah kecil. Asam amino yang terdapat di dalamnya diduga lebih banyak merupakan asam amino non protein. Asam amino pada genjer merupakan asam amino hidrofilik (menyukai air).

 

SIMPULAN DAN SARAN

     Ekstraksi pada genjer digunakan memisahkan bahan padat dan bahan cair dengan bantuan pelarut. Filtrat hasil ekstraksi digunakan sebagai sampel uji fitokimia tumbuhan genjer. Hasil uji fitokimia pada daun tumbuhan genjer menunjukkan hasil positif pada uji steroid, fenol hidroquinon, dan benedict. Hasil negatif ditunjukkan pada uji alkaloid, flavonoid, saponin, molish, biuret, dan ninhidrin. Fenol hidrokuinon dan gula pereduksi merupakan metabolit sekunder utama pada tanaman genjer.

     Pengujian fitokimia pada tumbuhan genjer perlu menggunakan bagian lain dalam tumbuhan tersebut seperti buah atau batang agar perbandingan komposisi kimia dalam genjer dapat diketahui. Diperlukan pengujian kuantitatif pada uji fitokimia agar persentase kandungan bioaktif bahan dapat diketahui.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Alfa DF. 2003. Kemampuan genjer, kangkung air, dan selada air untuk menurukan konsentrasi logam timbal (Pb) di dalam air. [skripsi] Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

 

Abilash PC. Pundey VC, Srivastava P, Rakesh PS, Chandran S, Singh N, Thomas AP. 2009. Phytofiltration of cadmium from water by Limnocharis flava (l.) grown in free-floating culture system. Journal of Huzurdous Materials. Vol. 170: 791-797.

 

Ditjen POM. 2012. Ekstraksi. Jakarta: Ditjen POM Departemen Kesehatan RI.

 

Haynes RR dan Les DH. 2004. Alismates (water plantains). http://www.els.net. (23 Mei 2012).

 

Maisuthisakul P, Pasuk S, Ritthiruangdej P. 2008. Relationship between antioxydant properties and chemical composition of some Thai plants. Journal of Food Composition and Analysis. 21(1): 229-240.

 

Myers RL dan Myers RL. 2007. The 100 most important chemical compounds: a reference guide. Westport: Greenwood Press.

 

Plantamor. 2008. Genjer. http://www.plantamor.com. (23 Mei 2012.

 

Rusydi R. 2010. Analisis mikroskopis komponene  bioaktif tanaman genjer (Limnocharis flava) dari Kelurahan Situ Gede Bogor. [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

 

Tohir AM. 2010. Teknik ekstraksi dan aplikasi beberapa pestisida nabati untuk menurunkan palatabilitas ulat grayak (spodoptera litura fabr.). Buletin Teknik Pertanian 15 (1): 37-40.

 

Ujowundu CO, Igwee CU, Enemor   VHA, Nwaogu LA, Okafor   OE. 2008. Nutritive and anti- nutritive properties of         Boerhavia diffusa and             Comnelina nudiflora Leaves. Journal of Nutrion. &(1): 90-  92.

 

Wildman REC. 2001. Classfying nutraceuticals. Di dalam Wildman REC editor. Handbook of Neutraceuticals and Fuctional Foods. New York: CRC Press.

 

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

Lampiran 1 Morfologi tumbuhan genjer (Limnocharis flava)

 

Sumber: Plantamor (2008)

 

Lampiran  2  Tabel hasil uji fotokimia genjer (Limnocharis flava)

Uji

Hasil

Keterangan Warna

+

Awal

Akhir

Alkaloid

 

 

 

Dragendrof

 

Hijau tua

Coklat tanpa endapan

Meyer

 

Hijau tua

Jingga tanpa endapan

Wagner

 

Hijau kekuningan

Kuning bening

Steroid

+

 

Hijau tua

Hijau tua pekat

Flavonoid

 

Hijau tua

Hijau tua

Saponin

 

Hijau tua

Hijau tua tanpa busa

Molisch

 

Hijau tua

Hijau tua

Bannedict

+

 

Hijau tua

Hijau tua

Fenol Hidroquinon

+

 

Hijau kekuningan

Endapan merah bata

Ninhidrin

 

Hijau tua

Hijau tua

Biuret

 

Hijau tua

Hijau tua

 

Lampiran 3 Hasil uji fotokimia genjer (Limnocharis flava)

 

PBB Ikan Mas

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

Laporan Praktikum I                                                         Asisten: Euis Nur Aisyah

m.k. Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan         

 

PENILAIAN TINGKAT KESEGARAN IKAN MAS (Cyprinus carpio) SECARA ORGANOLEPTIK

 

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

 

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

 

21 Februari 2012

 

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di Indonesia adalah ikan mas (Cyprinus carpio). Ikan mas merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Pengamatan penilaian tingkat kesegaran ikan mas secara organoleptik dilakukan dengan tujuan mengetahui tingkat kesegaran ikan secara sensori dan melihat adanya perbedaan karakteristik pada kondisi ikan yang berbeda. Praktikum dilakukan pada Selasa, 21 Februari 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Uji organoleptik dilakukan setiap hari selama 1 minggu pada jam 11.00 WIB. Metode yang digunakan dalam pengamatan adalah perhitungan morfometrik, penghitungan rendemen, dan uji organoleptik berupa kemunduran mutu ikan mas. Hasil uji morfometrik menunjukkan bahwa panjang total rata-rata ikan mas adalah 22,05 cm dan tinggi total rata-rata ikan mas sebesar 7,15 cm. Hasil rendemen daging ikan mas sebesar 31,28%, rendemen jeroan 24,04%, rendemen kulit 5,75%, dan  rendemen kepala dan tulang sebesar   38,95%.Laju kemunduran mutu ikan mas yang tidak disiangi lebih cepat dibandingkan ikan mas yang disiangi.

 

Kata kunci: ikan mas, kemunduran mutu,  morfometrik, rendemen, uji organoleptik

 


PENDAHULUAN

 

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Hal ini dapat ditunjukkan dari produksi perikanan tangkap yang dimiliki Indonesia. Produksi perikanan tangkap pada tahun 2010 adalah 5.384.418 ton (KKP 2010). Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya terlihat dari segi kuantitas,  namun juga keragamannya (Suseno 2002). Salah satu sumber-daya perairan air tawar yang umum dibudidayakan adalah ikan mas (Cyprinus carpio).

Ikan mas berasal dari daratan Cina. Ikan mas sudah mulai dibudidayakan sejak beberapa ratus tahun yang lalu. Billard (2001) mengatakan ikan mas memiliki sifat tahan terhadap lingkungan sehingga ikan ini dapat berkembang dengan cepat.

Ikan mas merupakan hewan omnivora yang memiliki sifat seperti hewan karnivora. Menurut Saanin (1984) klasifikasi ikan mas adalah sebagai berikut:

Filum        : Chordata

Kelas        : Osteichthyes

Ordo         : Cypriniformes

Famili       : Cyprinidae

Genus       : Cyprinus

Spesies     : Cyprinus carpio

Menurut Suseno (2002) ikan mas memiliki tubuh agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut ikan mas terletak di ujung tengah (terminal) dan dapat disembulkan (protaktil). Hampir seluruh tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik. Ikan mas memiliki sirip punggung (dorsal), sirip dada (pektoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal), dan sirip ekor (kaudal).

Siklus reproduksi ikan mas dimulai dari dalam gonad, yakni ovarium pada betina dan testis pada jantan. Ovarium akan menghasilkan telur dan testis akan menghasilkan spermatozoa. Pemijahan ikan mas dapat terjadi sepanjang tahun dan tidak tergantung pada musim. Pemijahan ikan mas secara alami terjadi pada tengah malam sampai akhir fajar (Cabrita 2008).

Ikan mas adalah salah satu jenis ikan bernilai ekonomis penting. Ikan ini telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia. Menurut KKP (2010) produksi ikan mas di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 374.112 ton.

Tingginya produksi ikan mas di Indonesia perlu didukung dengan mutu yang baik. Ikan mas merupakan komoditas perairan yang bersifat mudah rusak (highly perishable). Sifat ikan mas yang mudah rusak menyebabkan ikan dapat mengalami kemunduran mutu. Suseno (2002) menyatakan bahwa ikan mas mudah mengalami kemunduran mutu karena mengadung kadar air yang cukup tinggi sekitar 80%.

Makanan dapat dikonsumsi jika memiliki mutu yang baik. Hal ini menyebabkan perlu dilakukannya  analisis kemunduran mutu terhadap ikan mas. Analisis diperlukan untuk mengetahui tingkat kesegaran bahan baku. Salah satu metode yang dapat dilakukan adalah analisis mutu secara organoleptik. Tujuan dari praktikum penilaian tingkat kesegaran ikan mas secara organoleptik adalah menentukan tingkat kesegaran ikan secara sensori dan melihat adanya perbedaan karakteristik kesegaran ikan pada kondisi ikan yang berbeda.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum penilaian tingkat kesegaran ikan mas secara organoleptik dilaksanakan pada hari Selasa, 21 Februari 2012. Praktikum dilaksanakan pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB. Pengamatan dilakukan setiap hari selama 1 minggu di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan  yang  digunakan pada praktikum penilaian tingkat kesegaran ikan mas  secara organoleptik adalah ikan mas. Alat yang  digunakan  adalah scoresheet organoleptik berdasarkan SNI 01-2729.1-2006, wadah tempat ikan, pisau bedah, tissue,  lap, timbangan digital, penggaris, kulkas, penghitung waktu (stopwatch), dan alat tulis.

 

Prosedur Kerja

Praktikum penilaian tingkat kesegaran ikan mas secara organoleptik dilakukan dengan menggunakan sampel ikan mas. Ikan mas dibedakan satu sama lain dengan kode tertentu. Sampel ikan mas yang dibutuhkan adalah 3 ekor. Semua sampel dimatikan dengan penusukan bagian medula oblongata. Penusukan bagian medula oblongata dilakukan agar ikan mas tidak kejang ketika dimatikan.

Sampel ikan mas ke-1 tidak disiangi. Sampel ikan mas ke-2 diberi perlakuan penyiangan. Sampel ikan mas ke-3 diukur rendemennya. Rendemen yang dihitung berupa rendemen daging, rendemen jeroan, rendemen kulit, dan rendemen kepala dan tulang. Ikan mas sebelum diberi perlakuan diukur morfometriknya berupa panjang total dan tinggi total. Sampel ikan ke-1 dan sampel ikan  ke-2 disimpan dalam suhu 10 OC dan dilakukan pengamatan uji organoleptik tiap harinya. Pengamatan organoleptik meliputi bau, warna, lendir daging, bau, permukaan badan, dan tekstur. Lembar scoresheet digunakan pada pengujian organoleptik sebagai standar penilaian. Hasil pengujian kemudian diolah dan dibahas.  Diagram alir praktikum penilaian tingkat kesegaran ikan mas secara organoleptik dapat dilihat pada Gambar 1.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1.  Diagram alir pengukuran rendemen, uji kesegaran, dan  morfometrik

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kesegaran  ikan adalah salah satu indikator yang menentukan kualitas ikan. Praktikum penilaian tingkat kesegaran ikan mas secara organoleptik yang dilakukan, diukur dengan memperhatikan aspek morfologi, rendemen, dan laju kemunduran mutu ikan.

Morfologi adalah ilmu tentang ukuran atau bentuk makhluk hidup (Nishida et al. 2000). Hasil praktikum menunjukkan ikan mas memiliki bentuk tubuh agak memanjang dan memipih tegak (compressed). Mulut ikan mas terletak di ujung tengah, dapat disembulkan, dan memiliki 2 pasang sungut. Hampir seluruh tubuh ikan mas ditutupi oleh sisik. Sirip pada ikan mas yaitu sirip punggung (dorsal), sirip dada (pektoral), sirip perut (ventral), sirip dubur (anal), dan sirip ekor (kaudal). Morfologi ikan mas disajikan pada Lampiran 1.

Morfometrik adalah ilmu yang mempelajari bagian dari tubuh makhluk hidup yang dapat diukur (Turan 2001). Pengukuran morfometrik ikan mas meliputi panjang total dan tinggi badan. Panjang total diukur dari ujung mulut hingga ujung terakhir dari sirip kaudal. Tinggi badan diukur dari tinggi terpanjang dari pangkal sirip dorsal. Panjang total rata-rata yang didapat adalah 22,05 cm dan tinggi badan sebesar 7,15 cm. Perbandingan antara panjang total dan tinggi badan ikan mas yang didapat adalah 3:1. Menurut Sundara (2003), ikan mas mempunyai rumus jari-jari sirip P 1.5, V 1.7-9,   D 3.17, A 3.5, sisik  LL 35-39, dan perbandingan panjang total dan tinggi badan sekitar 3:1. 

Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Sukmaningsih 2010). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen dihitung untuk memperkirakan persentase bagian tubuh ikan yang dapat digunakan. Hasil pengukuran rendemen ikan mas disajikan pada Lampiran 2.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging ikan mas yang didapat sebesar 31,28%. Menurut Suseno (2002) rendemen daging ikan mas berkisar antara 20% – 40%. Persentase rendemen yang bervariasi antar jenis ikan ditentukan oleh bentuk tubuh dan umur yang dimiliki ikan.

Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 24,04%, rendemen kulit sebesar 5,75%, dan  rendemen kepala dan tulang sebesar 38,95%.Rendemen tertinggi terdapat pada kulit dan tulang. Hal ini disebabkan saat filleting masih terdapat daging ikan mas yang menempel sehingga mempengaruhi nilai akhir pengukuran rendemen. Perbandingan persentase rendemen antar bagian tubuh ikan mas disajikan pada Lampiran 3.

Hampir seluruh bagian tubuh ikan mas dapat dimanfaatkan. Saat ini pemanfaatan ikan mas umumnya digunakan sebagai ikan konsumsi. Menurut Sukmaningsih (2010) ikan mas merupakan bahan baku bekasam yang umum digunakan. Kepala ikan mas selain dapat dikonsumsi, juga dapat dijadikan campuran bagi pakan ayam pedaging. Hal ini disebabkan ikan mas mengandung protein sekitar 80% dari 100 gram bahan.

Ikan termasuk bahan pangan yang  bersifat mudah rusak atau busuk (highly perishable food). Ikan yang tidak mendapatkan penanganan dengan baik akan mengalami proses kemunduran mutu dengan cepat. Penanganan yang sering dilakukan adalah melakukan pendinginan. Bahan yang umum digunakan adalah es (Munandar et al. 2009).

Menurut Nurjanah (2011) pengunaan es merupakan penanganan yang dianggap paling ekonomis dan efektif. Aplikasi penggunaan es masih memiliki berbagai masalah, terutama dalam hal ketidakpraktisan, karena es mudah sekali mencair. Hal ini menyebabkan es yang dibutuhkan harus dalam jumlah yang besar agar mutu ikan tetap terjaga.

Praktikum analisis kemunduran ikan mas secara sensori tidak menggunakan es dalam pendinginan, melainkan menggunakan kulkas (refrigerator) yang suhunya 10 OC. Menurut Nurjanah (2011) tujuan pendinginan adalah menghambat aktivitas mikrobiologi pada ikan yang dapat mempengaruhi proses pembusukan.

Ikan yang telah mati akan mengalami beberapa fase pembusukan yaitu fase prerigor, rigor mortis, dan post rigor.  Prerigor merupakan fase yang terjadi pada ikan yang baru mati sehingga ciri-cirinya mirip seperti ikan hidup. Fase rigor mortis ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Mengejangnya tubuh ikan merupakan hasil perubahan-perubahan biokimia yang kompleks dari otot ikan. Fase post rigor terjadi setelah fase rigor mortis. Fase ini ditandai dengan tubuh ikan yang menjadi lembek. Lembeknya daging Ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat  (Nurjanah 2011).

Pengujian organoleptik adalah cara pengujian dengan menggunakan indera manusia sebagai alat utama untuk pengukuran daya penerimaan terhadap produk. Sudaryani (2004) menyatakan bahwa penilaian organoleptik adalah suatu disiplin ilmu yang dapat digunakan untuk mengungkapkan, mengukur, serta menganalisis, reaksi-reaksi seseorang terhadap karakteristik pangan atau bahan lainnya yang dinyatakan oleh indera penglihatan, indera perasa, dan indera peraba.

Metode sensori atau organoleptik relatif lebih murah dan cepat dibandingkan pemeriksaan di laboratorium yang memerlukan banyak waktu dan biaya. Metode ini dapat digunakan untuk membedakan secara kasar, ikan yang busuk dan ikan yang segar dengan pengamatan tanda-tanda yang terdapat pada tubuh ikan (Liviawaty 2001).

Uji organoleptik ikan mas dilakukan dengan dua perlakukan yakni ikan mas dengan penyiangan dan tanpa penyiangan. Hasil uji organoleptik pada awal pengamatan ikan mas, baik yang disiangi maupun yang tidak disiangi adalah 9. Spesifikasi ikan mas dengan nilai organoleptik 9 adalah sebagai berikut: mata ikan mas pada awal pengamatan cerah, bola mata menonjol dan kornea jernih. Insang memiliki warna cemerlang dan tanpa lendir. Lendir permukaan badan jernih, transparan, dan mengkilat cerah. Sayatan daging sangat cemerlang, spesifik jenis, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, dan dinding perut daging utuh. Bau ikan mas sangat segar dengan tekstur padat. Elastis bila ditekan dengan jari dan sulit menyobek daging dari tulang belakang.

Hasil pengamatan menunjukkan ikan mas masih dalam kondisi segar. Menurut Ilyas (1999) ciri-ciri ikan utama ikan segar adalah warna kulit terang dan jernih, kulit masih kuat membungkus tubuh, dan warna-warna khusus yang dimiliki ikan masih terlihat jelas. Sisik pada ikan segar menempel kuat pada tubuh ikan sehingga sulit dilepas. Insang berwarna merah sampai merah tua, lamela insang terpisah. Daging ikan kenyal, dan bila di tekan masih elastis. Ikan segar bila diletakkan di dalam air akan tenggelam.

Menurut Munandar et al. (2009) ikan mas pada awal pengamatan berada dalam fase prerigor. Tahap prerigor terjadi selama 2 jam setelah ikan dimatikan. Nilai mutu kesegaran ikan pada tahap ini adalah organoleptik 9. Tahap ini ditandai dengan jaringan daging ikan yang masih lembut dan lentur serta adanya lapisan bening disekeliling tubuh ikan yang terbentuk oleh peristiwa pelepasan lendir dan kelenjar bawah kulit. Lendir yang dihasilkan terdiri dari glukoprotein dan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri pada ikan. Tahap prerigor memiliki nilai TVB 18,67 – 20mg N/100g; TPC 3,4 x 104 – 6,3 x 104 unit koloni/g; pH 6,7; dan nilai K 0,00% – 8,22%.

Kemunduran mutu ikan mas, meningkat seiring dengan bertambahnya waktu. Hal tersebut dapat dilihat pada pengamatan organoleptik ikan mas. Hari ke-3 insang ikan mas yang tidak disiangi memiliki nilai organoleptik 5. Menurut Nurjanah et al. (2004) ikan pada nilai tersebut telah mengalami fase rigor mortis. Tahap rigor mortis terjadi dengan keadaan daging yang kaku pada ikan. Afrianto (1999) mengatakan daging yang kaku pada ikan merupakan hasil perubahan-perubahan biokimia yang kompleks dari otot ikan. Ikan yang berada pada tahap rigor mortis umumnya akan mengejang. Kekejangan ini disebabkan alat-alat yang terdapat dalam tubuh ikan yang berkontraksi akibat adanya reaksi kimia yang dipengaruhi atau dikendalikan oleh enzim. Munandar et al. (2009) mengatakan ikan pada tahap rigor mortis memiliki nilai organoleptik 9 sampai 5.

Ikan mas yang disiangi mengalami fase rigor mortis sampai hari ke-4. Hal ini ditunjukkan oleh hasil organoleptik insang yang menunjukkan nilai 5,3 pada hari ke-4. Insang pada hari ke-4 menunjukkan ciri-ciri insang berwarna merah pucat. Menurut Nurjanah (2004) warna insang yang memudar disebabkan oleh terbentuknya lendir di permukan insang. Lendir merupakan media tempat pertumbuhan bakteri. Hal ini menunjukkan semakin pucat warna insang, pertumbuhan bakteri akan semakin tinggi, dan kemunduran mutu ikan berlangsung lebih cepat.

Akhir pengamatan  ikan mas yang  disiangi dan tidak disiangi memiliki nilai 4 untuk mata. Nilai 4 memperlihatkan ciri-ciri bola mata cekung dan kornea agak keruh. Menurut Nurjanah (2004) perubahan ciri bola mata ikan mas disebabkan pembentukan asam laktat. Darah ikan yang telah mati tidak dapat disirkulasi dan suplai oksigen berkurang sehingga terjadi perubahan glikogen menjadi asam laktat.

Hasil akhir organoleptik insang ikan mas yang  disiangi adalah 4 sedangkan ikan yang tidak disiangi adalah 2. Insang ikan yang tidak disiangi menjadi berwarna merah kecoklatan dengan lendir tebal sedangkan ikan yang disiangi memiliki warna insang merah kecoklatan tanpa lendir. Menurut Munandar et al. (2009) warna insang merah kecoklatan dengan lendir tebal mengindikasikan pertumbuhan bakteri yang telah meningkat dibanding insang ikan yang tidak memiliki lendir. Pemucatan warna insang disebabkan oleh sirkulasi darah yang terhenti.

Hasil akhir organoleptik lendir ikan mas yang  disiangi adalah 6 sedangkan ikan yang tidak disiangi adalah 4.  Ikan mas yang tidak disiangi memiliki lendir lebih tebal dan  menggumpal dengan badan mulai berubah warna keruh. Menurut Munandar et al. (2009) lendir merupakan substrat bagi pertumbuhan bakteri dan akan semakin tebal pada ikan yang mengalami kebusukan lebih cepat, karena lendir terdiri dari lapisan glukoprotein yang mudah menggumpal.

Hasil akhir organoleptik bau, daging, dan tekstur ikan mas yang  disiangi adalah 6 dan ikan mas tidak disiangi adalah 5. Bau ikan mas menjadi seperti amoniak. Menurut Nurjanah (2004) bau amoniak disebabkan aktivitas bakteri yang memecah protein sehingga menghasilkan amoniak.

Tekstur akhir ikan mas yang disiangi dan tidak disiangi menjadi agak lunak dan  kurang elastis. Menurut Suwandi et al. (2008) tekstur daging yang menjadi lunak disebabkan oleh stuktur otot daging yang sudah rusak akibat aktivitas enzimatis dan mikroba. Hal ini menyebabkan daging menjadi lembek dan mudah menyobek daging dari tulang belakang.  Hasil uji organoleptik ikan mas yang tidak disiangi dan disiangi dapat dilihat pada Lampiran 5 dan Lampiran 6.

Mata, lendir, daging, bau, dan tekstur ikan mas yang tidak disiangi pada hari ke-6 menunjukkan bahwa organ tersebut telah berada pada fase postrigor, sementara insang telah mengalami kebusukan. Hal ini disebabkan nilai organoleptik organ mata, lendir, daging, bau, dan tekstur berkisar antara 3-5, sementara insang bernilai 1,7. Nurjanah et al. (2004) menyatakan bahwa fase postrigor ditandai dengan nilai organoleptik antara 3-5 dan ikan akan mengalami kebusukan jika memiliki nilai organoleptik kurang dari 3.

Ikan yang disiangi memiliki nilai organoleptik antara 4-6. Menurut Nurjanah et al. (2004) ikan mas berada pada fase postrigor. Fase postrigor memiliki nilai organoleptik antara 3-5.

Hasil Pengamatan menunjukkan uji organoleptik ikan mas yang disiangi lebih baik dibandingkan ikan mas yang tidak disiangi. Ikan mas yang tidak disiangi memiliki nilai akhir uji organoleptik antara 2-6, sementara ikan mas yang disiangi memiliki nilai akhir uji organoleptik antara 4-6. Hasil pengamatan menunjukkan ikan mas yang tidak disiangi mengalami kemunduran mutu lebih cepat. Afrianto (1999) mengatakan hal ini disebabkan pembusukan mikroba pada ikan tanpa penyiangan tidak hanya terjadi pada daging, tapi juga terjadi pada organ dalam, sedangkan ikan mas yang disiangi hanya mengalami pembusukan mikroba di daging.

Menurut Afrianto (1999) kemunduran mutu ikan dapat disebabkan oleh proses enzimatis, proses bakteriologis, dan proses kimiawi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal berkaitan dengan lingkungan dan perlakuan manusia. Adapun faktor internal yang mempengaruhi kemunduran mutu ikan diantaranya: jenis ikan, umur, ukuran ikan, kandungan lemak, kondisi fisik ikan, karakteristik kulit, dan bentuk tubuh.

Menurut Nurjanah (2011) Ikan masih dapat dikonsumsi sampai menunjukkan angka  5 pada scoresheet organoleptik. Ikan pada nilai organoleptik 5 sedang mengalami fase rigor mortis dan akan memasuki fase postrigor. Menurut SNI (2010) persyaratan mutu dan keamanan pangan, ikan mas yang layak konsumsi minimal menunjukkan angka 7 pada uji organoleptik dari skala 1-9.

 

 

SIMPULAN DAN SARAN

Uji organoleptik dapat menentukan tingkat kesegaran ikan. Ciri utama ikan segar adalah warna kulit terang, sisik menempel kuat pada tubuh ikan sehingga sulit dilepas. Insang berwarna merah sampai merah tua. Daging ikan kenyal dan elastis. Ikan busuk memiliki ciri-ciri sebagai berikut: kulit berwarna suram dan mudah robek, sisik mulai terlepas dari tubuh., mata tampak suram, insang berwarna coklat suram, dan daging insang lunak. Hasil organoleptik ikan mas yang disiangi berkisar antara 4-6 sedangkan ikan mas yang tidak disiangi memiliki nilai organoleptik antara 2-6. Laju kemunduran ikan yang tidak disiangi lebih cepat dibanding ikan yang disiangi. Kemunduran mutu ikan dapat disebabkan oleh proses enzimatis, proses bakteriologis, dan proses kimiawi.

Praktikum penilaian kesegaran mutu ikan mas sebaiknya menggunakan metode lain selain uji organoleptik, karena uji organoleptik besifat subjektif. Perlu dilakukan pengukuran suhu dan pengukuran pH untuk mendukung pengamatan kemunduran mutu ikan mas.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Afrianto E. 1999. Pengawetan dan Pengolahan Ikan. Yogyakarta: Kanisius

 

Billard R. 2001. Biology of sperm and artificial reproduction in carp. Aquaculture Vol. 129(1): 112-118.

 

Cabrita E. 2008. Methods in Reproductive Aquaculture Marine and Freshwater Species. New York: CRC Press.

 

Ilyas S. 1999. Ciri Ikan Segar dan Ikan Busuk. Jakarta: Lembaga Teknologi Perikanan Jakarta.

 

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Statistik Produksi Ikan Mas di Indonesia. www.kkp.go.id. [1 Maret 2012].

 

Liviawaty E. 2001. Organoleptik Ikan. Laboratorium Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan. Bandung: Fakultas Pertanian. Universitas Padjajaran.

 

Munandar A, Nurjanah, Nurilmala. 2009. Kemunduran Mutu Ikan Nila (Oreochromis Niloticus) pada Penyimpanan Suhu Rendah dengan Perlakuan Cara Kematian dan Penyiangan. Jurnal Teknologi Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia Vol. 7 (2): 88-101.

 

Nishida T, Hayashi Y, Hashiguchi, dan SS Mansjoer. 2000. Distribution and identification of jungle fowl in Indonesia. The Origin and Phylogeny of Indonesian Native Livestock. Vol. 2 (1): 85-95.

 

Nurjanah. 2011. Pengetahuan dan Karakteristik Bahan Baku Hasil Perairan. Bogor: IPB Press.

 

Nurjanah, Setianingsih I, Sukarno, Muldani M. 2004. Kemunduran Mutu Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) selama Penyimpanan pada Suhu Ruang. Buletin Hasil Perikanan. 7(1): 37-44.

 

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta: Bina Cipta.

 

[SNI] Standar Nasional Indonesia. 2010. Keamanan Pangan. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

 

Sudaryani. 2004. Evaluasi Teknik Penyajian Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Goreng secara Organoleptik. [skripsi]. Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

 

Sukmaningsih T. 2010.Potensi Kepala Ikan Mas sebagai Campuran Pakan Ayam Pedaging dalam Upaya Pemanfaatan Sumberdaya di Desa Adisara, Kecamatan Jatilawang, Kabupaten Banyumas. [Thesis]. Purwokerto: Sekolah Pascasarjana, Universitas Jenderal Sudirman.

 

Sundara AS. 2003. Fluktuasi asimetri pada ikan nila merah (Oreochromis sp) dan ikan mas (Cyprinus carpio Linn). [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

 

Suseno D. 2002. Pengelolaan usaha Pembenihan Ikan Mas. Jakarta: Penebar Swadaya.

 

Suwandi R, Pia S, Purwaningsih S. 2008. Aplikasi Minuman Ringan Berkarbonasi dalam Menghambat Laju Kemunduran Mutu Ikan Nila

(Oreochromis niloticus). Buletin Teknologi Hasil Perikanan. 11(2): 102-118.

 

Turan C. 2001.  A Note on The  Examination of  Morphometric Differentiation Among Fish  Populations: The Truss System.  Journal of The University of  Mustafa Kemal, Faculty of  Fisheries, Hatay-Turkey Vol 2B(1): 123-130.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

Lampiran 1 Morfologi ikan mas (Cyprinus carpio)

 
   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Koleksi Pribadi (2012)

 

Lampiran 2 Data persentase rendemen ikan mas (Cyprinus carpio)

 

Rendemen Daging (%)

Rendemen Daging dan Kepala (%)

Rendemen Kulit (%)

Rendemen Jeroan (%)

 I

II

III IV

22,95

32,34

38,68

31,15

42,62

37,81

35,38

40,00

3,83

6,97

5,66

6,56

30,60

22,89

20,28

22,40

 

32,9295

37,4525

5,57550

24,0425

 

Lampiran 3 Diagram pie rendemen ikan mas (Cyprinus carpio)  

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan: (      ) rendemen tulang; (      ) rendemen jeroan; (      ) rendemen daging; (      ) rendemen kulit

 

 

Lampiran 4 Contoh perhitungan rendemen ikan mas (Cyprinus carpio)

Perhitungan rendemen daging meja 4

 

 

 

Lampiran 5  Hasil organoleptik ikan mas (Cyprinus carpio) yang tidak disiangi

 

No

Spesifikasi

Meja ke-

Hari

0

1

2

3

4

5

6

1

Mata

1

 

7

 

5

3

3

3

   

2

9

7

7

3

1

1

 
   

3

8

8

8

7

6

6

5

   

4

9

8

8

6

5

5

3

Rata-rata

8.7

7.5

7.7

5.3

3.8

3.8

3.7

2

Insang

1

 

7

 

3

3

3

1

   

2

9

6

3

3

3

3

 
   

3

8

8

6

5

3

3

3

   

4

9

6

6

3

3

1

1

Rata-rata

8.7

6.7

5

3.5

3

2.5

1.7

3

Lendir

1

 

8

 

7

6

6

6

   

2

9

6

6

5

1

1

1

   

3

8

8

8

7

8

7

6

   

4

9

8

8

7

6

5

5

Rata-rata

8.7

7.5

7.3

6.5

5.3

4.8

4.5

4

Daging

1

 

 

 

 

7

7

7

   

2

9

7

5

3

1

1

 
   

3

8

8

8

8

7

5

5

   

4

       

7

7

3

Rata-rata

8.5

7.5

6.5

5.5

5.5

5

5

5

Bau

1

 

8

 

7

7

5

5

   

2

9

5

5

5

5

3

 
   

3

8

8

8

7

7

7

5

   

4

9

8

7

7

7

7

7

Rata-rata

8.7

7.3

6.7

6.5

6.5

5.5

5.7

6

Tekstur

1

 

7

 

7

7

7

7

   

2

9

7

5

3

3

1

 
   

3

8

7

7

5

7

3

3

   

4

9

8

5

5

5

5

4

Rata-rata

8.7

7.3

5.7

5

5.5

4

4.7

 

 

 

Lampiran 6 Hasil organoleptik ikan mas (Cyprinus carpio) yang disiangi

 

                 

 

No

Spesifikasi

Meja ke-

Hari

 

0

1

2

3

4

5

6

1

Mata

1

 

8

 

7

7

3

3

   

2

9

8

7

6

5

5

 
   

3

8

8

8

7

7

6

5

   

4

9

8

8

6

6

6

5

Rata-rata

8.7

8

6.5

6.5

6.25

5

4.33

2

Insang

1

 

6

 

3

3

3

3

   

2

9

7

5

3

3

3

 
   

3

8

8

3

3

3

3

3

   

4

9

8

8

7

7

6

5

Rata-rata

8.67

7.25

6.33

5.33

4

3.75

3.67

3

Lendir

1

 

8

 

7

6

6

6

   

2

8

8

6

5

3

3

 
   

3

8

8

8

8

8

7

7

   

4

9

9

7

7

6

5

5

Rata-rata

8.33

8.25

7

6.75

5.75

5.25

6.0

4

Daging

1

 

8

 

7

7

7

7

   

2

9

8

7

7

7

7

 
   

3

8

8

6

7

7

7

5

   

4

             

Rata-rata

8.5

8

6.5

7

7

7

6

5

Bau

1

 

8

 

7

5

5

5

   

2

9

8

7

7

5

5

 
   

3

8

8

5

7

5

5

5

   

4

9

8

7

7

7

7

5

Rata-rata

8.67

8

6.33

7

5.5

5.5

5

6

Tekstur

1

 

8

 

8

8

7

5

   

2

9

8

5

3

3

3

 
   

3

8

8

7

7

7

5

5

   

4

9

9

8

       

Rata-rata

8.67

8.25

6.67

6

6

5

5

                                                       

 

 

Laporan Transportasi 5

Posted: Agustus 8, 2012 in Transportasi Perairan

Laporan Praktikum ke-5                                     Hari/Tanggal: Jumat/ 13 Juli 2012

m.k.Teknologi Penanganan dan                         Asisten         : Rizki Rakhmat Abdullah

Transportasi Biota Perairan

 

 

 

 

TRANSPORTASI SISTEM KERING PADA BIOTA PERAIRAN

 

 

 

 

 

Oleh:

Kelompok 6

  1. Sita Panca Rini                        (C14100054)
  2. Pradana Arthama                     (C24100072)
  3. Prisca Sari Paramudhita         (C34100004)
  4. Sonya Ayu Utari                     (C34100025)
  5. Elvina Melati                          (C34100053)
  6. Theresia Puspita A.                (C34100080)

 

DEPERTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

            Transportasi sistem kering adalah sistem pengangkutan ikan hidup dengan media pengangkutan bukan air. Sistem tranpotasi ini menggunakan prinsip hibernasi untuk menekan metabolisme suatu organisme dalam lingkungan yang minimum sehingga organisme tersebut dapat bertahan (Ahdiyah 2011). Bahan pengisi yang umum digunakan dalam transportasi kering diantaranya serbuk gergaji dan sekam padi. Serbuk gergaji dan sekam padi memiliki karakteristik yang berbeda dalam mempertahankan suhu. Grafik perbandingan media serbuk gergaji dan sekam padi dalam mempertahankan suhu selama tranportasi kering disajikan pada Gambar 2.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 2 Perbandingan media serbuk gergaji dan sekam padi dalam   mempertahankan suhu selama tranportasi kering

 

            Gambar 2 menunjukkan bahwa secara umum suhu akan semakin meningkat selama transportasi kering. Rata-rata peningkatan suhu ikan selama transportasi sebesar 2 oC – 5 oC. Peningkatan suhu tertinggi terdapat pada ikan mas yang diberi media pendingin sakam padi yakni 5 oC dengan suhu akhir sebesar 17 oC. Peningkatan suhu terendah terdapat pada ikan nila yang diberi media pendingin sekam padi yakni 2 oC dengan suhu akhir sebesar 13 oC. Serbuk gergaji secara umum, dapat mempertahankan suhu lebih konstan dibanding sekam padi. Media penyimpanan dengan serbuk gergaji mengakibatkan kenaikan suhu sebesar 3 oC, sementara sekam padi mengalami kenaikan suhu 2 oC sampai 5 oC.

Suhu merupakan salah satu faktor penting dalam transportasi hidup sistem kering. Ikan yang ditranportasikan dengan transportasi kering secara umum mengalami kenaikan suhu pada media pengisi serbuk gergaji maupun sekam padi. Menurut Suryaningrum et al. (2000) hal ini disebabkan adanya penetrasi udara luar (ruang) yang lebih tinggi yang mengalir ke kemasan sehingga mengakibatkan meningkatnya suhu media pengisi. Nitibaskara et al. (2006) menambahkan bahwa suhu dalam kemasan sangat dipengaruhi oleh suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan. Jika suhu awal bahan pengisi dan suhu lingkungan luar terlalu tinggi

maka kenaikan suhu kemasan akan lebih cepat terjadi. Faktor lain peningkatan suhu dapat disebabkan oleh es yang diletakkan di dasar kemasan yang tidak mampu lagi mempertahankan suhu media pengisi karena es yang digunakan telah mencair selama penyimpanan.

Hasil pengamatan menunjukkan laju peningkatan suhu pada sekam padi  relatif lebih lambat dibandingkan serbuk gergaji (Gambar 2). Hal ini disebabkan sekam padi memiliki daya serap air yang lebih tinggi daripada serbuk gergaji (Suryaningrum et al. 2000). Menurut Prasetiyo 1993 dalam Ahdiyah (2011) media pengisi yang memiliki daya serap air yang tinggi maka akan mampu mempertahankan suhu dingin lebih lama. Daya serap air pada sekam padi dipengaruhi oleh bentuk fisiknya. Sekam padi memiliki rongga dan bentuk berupa tabung yang dapat menyimpan air untuk sementara sehingga menyebabkan media ini memiliki daya serap air yang lebih tinggi dibandingkan dengan serbuk gergaji. Berdasarkan hasil penelitian Ahdiyah (2011) perendaman sekam padi pada air yang melimpah menyebabkan terikutnya air pada kemasan sebesar 35-40% dari bobot sekam padi yang digunakan. Air yang terserap menunjukkan bahwa jerami memiliki daya serap air yang tinggi. Bakri dan Baharuddin (2009) menambahkan sekam padi memiliki porositas yang sangat tinggi yaitu sekitar 79 %. Hal ini menyebabkan sekam padi dapat menyerap air dalam jumlah yang banyak.

Media pengisi serbuk gergaji dan sekam padi memiliki beberapa karakteristik dalam penggunaannya. Serbuk gergaji merupakan jenis media pengisi yang paling sering digunakan pada trasportasi hidup tanpa media air. Serbuk gergaji dapat digunakan sebagai media pengisi karena mempunyai panas jenis yang lebih besar daripada serutan kayu. Serbuk gergaji juga memiliki tekstur yang baik dan seragam (Junianto 2003). Penggunaan serbuk gergaji sebagai media pengisi sayangnya memiliki beberapa kelemahan. Serbuk gergaji merupakan media pengisi yang memiliki rongga udara yang lebih kecil daripada serutan kayu, Gracilaria sp. maupun sekam padi sehingga tidak voluminuous dan jika digunakan sebagai media pengisi menjadi lebih berat serta kapasitas angkut menjadi lebih kecil. Penggunaan serbuk gergaji juga menjadi kurang ekonomis karena untuk digunakan sebagai media pengisi dibutuhkan serbuk gergaji yang relatif banyak yaitu sebesar 3-5 kg dibandingkan sekam sebesar 1-2,5 kg ataupun serutan kayu sebesar <1 kg. serbuk gergaji juga mengandung komponen toksik seperti damar dan terpenten yang dapat meningkatkan kematian ikan selama penyimpanan (Muslih 1996 dalam Ahdiyah 2011).

Penelitian tentang jenis bahan pengisi lainnya yang lebih baik untuk transportasi maupun penyimpanan ikan hidup masih dilakukan, salah satu bahan pengisi yang dapat digunakan adalah sekam padi. Sekam padi merupakan limbah dari hasil tanaman padi yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Sekam padi adalah bahan berlignosellulosa seperti biomassa lainnya namun mengandung silika yang tinggi. Silika sekam padi dalam bentuk kristalin (quartz dan opal) dan amorf terkonsentrasi pada bagian permukaan luar dan sedikit pada bagian dalam sekam (Jauberthie et al. 2000).  Sekam padi memiliki tekstur yang baik dan seragam. Sekam padi memiliki bentuk yang menyerupai kantong yang dapat berfungsi untuk menyimpan air  untuk sementara waktu (Muslih 1996 dalam Karnila 1999). Sekam padi merupakan salah satu media pengisi yang paling efektif sebagai media pengisi selain serbuk gergaji. Penggunaan sekam sebagai media pengisi sayangnya dapat beresiko tinggi karena kemungkinan terikutnya residu pestisida, oleh karena itu, sebelum digunakan sekam harus diberi perlakuan terlebih dahulu untuk menghilangan residu pestisida yaitu dengan pencucian dan perendaman (Junianto 2003).

Bobot dan kelulusan hidup ikan (SR) merupakan beberapa parameter penting yang menjadi pusat perhatian konsumen. Jika dilihat dari parameter bobot dan SR, transportasi biota hidup yang berhasil adalah transportasi yang hanya sedikit mengalami kehilangan bobot dan SR pada biota yang ditransportasikan. Penggunaan media pengisi sekam padi dan serbuk gergaji memberikan pengaruh berbeda pada perubahan bobot dan tingkat kelulusan hidup. Data perubahan bobot dan SR pada ikan mas (Cyrinus capio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Perubahan bobot dan SR pada ikan mas (Cyrinus capio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus)

Jenis Ikan Media

Wawal

Wakhir

W

SR

Ikan Mas Serbuk Gergaji 178 179,5 -1,5 100%
Sekam Padi 222,25 216 6,25 100%
Ikan Nila Serbuk Gergaji 202,5 201 1,5 100%
Sekam Padi 185,5 194 -8,5 100%

Tabel 1 menunjukkan perubahan bobot ikan selama transportasi kering mengalami perubahan yang beragam. Ikan mas yang diberi bahan pengisi serbuk gergaji mengalami kenaikan bobot sebesar 1,5 gram sementara sekam padi yang diberikan pada ikan mas menyebabkan penurunan bobot sebesar 6,25 gram. Ikan nila yang diberi serbuk gergaji mengalami penurunan bobot sebesar 1,5 setelah transportasi, sementara pemberian bahan pengisi sekam padi menyebabkan kenaikan bobot sebesar 8,5 gram. Tingkat kelulusan hidup pada seluruh perlakuan memiliki nilai yang sama yakni 100 %.

Ikan pada umumnya akan mengalami susut bobot selama transportasi. Hal ini dapat terjadi karena keadaan stres yang dialami ikan selama transportasi. Stres dapat menyebabkan penyusutan bobot ikan terjadi penggunaan cadangan energi dalam bentuk karbohidrat (glikogen), lemak dan protein saat stress.  Penyebab stres ikan yaitu suhu lingkungan, kepadatan ikan dalam wadah pengangkutan, feses dan urin yang dihasilkan, jalan yang kurang halus, lamanya waktu pengangkutan, dan banyak faktor lain yang dapat meningkatkan stres ikan  (Kurniawan 2012). Beberapa hasil pengamatan yang didapat tidak sesuai dengan pernyataan Kurniawan (2012). Ikan mas yang diberi bahan pengisi serbuk gergaji dan ikan nila yang diberi bahan pengisi sekam padi justru mengalami kenaikan bobot. Perbedaan hasil yang didapat dapat disebabkan karena kesalahan kalibrasi dan kesalahan dalam penimbangan bobot ikan. Kesalahan ini berupa masih terdapatnya air di dalam mulut dan insang ikan selama transportasi yang belum dikeluarkan sehingga dapat menambah bobot ikan.  Jenis ikan juga dapat mempengaruhi perubahan bobot. Ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan jenis ikan air tawar yang sering dibudidayakan. Kedua ikan ini memiliki keunggulan berupa pertumbuhannya yang cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Jika diurutkan, ikan mas merupakan jenis ikan yang lebih sering dibudidayakan dibanding ikan nila karena daya adaptasinya yang lebih tinggi (Dobsikova 2009).

Aplikasi transportasi kering dilakukan  menggunakan kotak styrofoam  sebagai kemasan primer dalam pengangkutan. Menurut (Ilyas 1983 dalam Ahdiyah 2011) penggunaan styrofoam dapat menghindari penetrasi panas yang dapat mengubah suhu dalam kotak pengemas. Kotak Styrofoam memiliki densitas berkisar antara 15 kg/m3 sampai 30 kg/m3 dengan konduktivitas panas sebesar 0,030 Kkal/mjamOC dan kekuatan kompresi sebesar 2000 kg/m3. Lapisan pertama menggunakan es yang digunakan untu mempertahankan suhu kemasan agar sama dengan suhu pembiusan. Lapisan kedua menggunakan kertas buram. Kertas buram berfungsi untuk meminimalkan perembesan air dari es yang mencair yang dapat meningkatkan kelembaban bahan pengisi. Subangsinghe (1997) dalam Ahdiyah (2011) menambahkan pelapisan kertas atau sejenisnya berguna untuk menghindari kontak langsung antara lapisan es dan bahan pengisi yang dapat mengkibatkan peningkatan suhu secara drastis. Lapisan ketiga menggunakan bahan pengisi. Bahan pengisi berfungsi untuk mencegah biota hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga suhu tetap rendah agar biota tetap pingsan dan memberikan lingkungan udara yang memadai untuk kelangsungan hidup biota (Junianto dalam Ahdiyah 2011). Lapisan paling luar menggunakan daun tawas. Daun tawas dalam tranportasi kering secara tertutup digunakan untuk menjaga kotak agar tertap tertutup dan menghindari adanya kontak dengan udara luar (Subangsinghe 1997) dalam Ahdiyah 2011).

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Ahdiyah UL. 2011. Penggunaan jerami dan serbuk gergaji sebagai media pengisi pada penyimpanan udang galah (Macrobrachium rosenbergii) tanpa media air. [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

 

Bakri dan Baharuddin. 2009. Absorpsi air komposit semen sekam padi dengan penambahan pozzolan abu sekam padi dan kapur pada matriks semen. Jurnal Perennial, 6(2) : 70-78.

 

Dobsikova, Svobodova, Blahova, Modra, Velisek. 2009. The effects of transport on biochemical and hematological indices of Cyprinus carpio.Veterinary and Pharmaceutical Sciences Journal 54(11): 510-518.

 

Jauberthie, R., Rendell, F. Tamba, S. and Cisse´, I. K. 2000. Origin of the Pozzolanic Effect of Rice Husks. Construction and Building Materials. 14: 419 – 423.

 

Junianto. 2003. Teknik Penanganan Ikan. Jakarta: Penebar Swadaya.

 

Kurniawan A. 2012. Transportasi ikan hidup.[makalah]. Bangka Belitung: Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung

 

Nitibaskara R, Wibowo S dan Uju. 2006. Penanganan dan Transportasi Ikan Hidup untuk Konsumsi. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

 

Suryaningrum TD, Indriati N, Amini S. 2000. Penelitian model kemasan transportasi hidup ikan kerapu sistem kering. Di dalam: Prosiding Seminar Hasil Penelitian Perikanan 1999/2000, Sukamandi, 21-22 September 2000 hlm 278-284.

Laporan Tranportasi 3

Posted: Agustus 8, 2012 in Transportasi Perairan

Laporan Praktikum ke-3                                     Hari/Tanggal: Senin/ 9 Juli 2012

m.k.Teknologi Penanganan dan                         Asisten         : Rhesa Agung Maulana

       Transportasi Biota Perairan

 

 

 

 

PEMINGSANAN (IMOTILISASI) PADA BIOTA PERAIRAN DENGAN BERBAGAI BAHAN ANESTESI

 

 

 

 

 

Oleh:

Kelompok 6

  1. Sita Panca Rini                        (C14100054)
  2. Pradana Arthama                     (C24100072)
  3. Prisca Sari Paramudhita         (C34100004)
  4. Sonya Ayu Utari                     (C34100025)
  5. Elvina Melati                          (C34100053)
  6. Theresia Puspita A.                (C34100080)  

 

 

 

 

DEPERTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan salah satu komoditas perairan tawar yang cukup berkembang di Indonesia. Menurut KKP (2011), produksi ikan mas pada tahun 2011 mencapai 380.000 ton, jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan target awal sebesar 280.000 ton. Permintaan masyarakat terhadap ikan mas hidup cukup besar dan harganya pun mencapai tiga hingga empat kali lipat dibanding harga ikan mas mati. Hal ini menyebabkan diperlukannya sistem transportasi yang baik dan benar agar ikan mas dapat bertahan hidup hingga ke tangan konsumen.      

            Transportasi ikan hidup adalah memindahkan biota perairan dalam keadaan hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup (survival rate) tetap tinggi hingga di tempat tujuan.  Transportasi ikan hidup membutuhkan tindakan pemingsanan (imotilisasi) untuk mendukung kegiatan transportasi. Pemingsanan ikan dapat menurunkan laju konsumsi O2, laju eksresi karbondioksida, amoniak, dan sisa buangan lainnya (Sufianto 2008). Bahan yang digunakan dalam imotilisasi terbagi menjadi dua yaitu bahan alami dan bahan sintetik. Bahan alami contohnya es, esens cengkeh, ekstrak tembakau, ekstrak mengkudu, ekstrak pepaya dan lain sebagainya. Esens cengkeh adalah bahan anestesi yang memiliki efektivitas pemingsanan yang baik. Cengkeh mengandung minyak yang mempunyai rasa dan aroma khas dan banyak disenangi orang, selain itu minyak tersebut mempunyai sifat stimulan, anestetik, karminatif, antiemetik, antiseptik dan antispasmodik. Kandungan aromaterapi dalam cengkeh dapat memingsankan dan mengurangi ikan stres sehingga menjaga derajat kelulusan hidup ikan (Nurdjannah 2004). Keunggulan yang dimiliki cengkeh inilah yang membuat perlu dilakukannya pengujian mengenai efektifitas cengkeh terhadap imotilisasi pada biota perairan.

 

Tujuan

Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan bertujuan mengetahui pengaruh berbagai macam bahan anestesi terhadap daya tahan biota perairan.

BAHAN DAN METODE

 

Waktu dan Tempat

     Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan berbagai bahan anestesi dilakukan hari Senin tanggal 9 Juli 2012. Praktikum dimulai pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.30 WIB. Kegiatan dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

            Bahan yang digunakan dalam praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan berbagai bahan anestesi, yaitu ikan mas (Cyprinus carpio), esens cengkeh, air, dan es batu. Alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah wadah toples, baki, pipet tetes, timbangan digital, dan stopwatch.

Prosedur Kerja

            Praktikum pemingsanan pada biota perairan dengan berbagai bahan anestesi dilakukan pada 3 ekor ikan mas (Cyprinus carpio) yang telah dipuasakan. Ikan mas tersebut ditimbang untuk mengetahui bobot awal. Ikan mas kemudian dimasukkan ke dalam toples berisi air sebanyak 3 L yang sudah diukur pHnya. Kemudian ditambahkan esens cengkeh dengan berbagai dosis, yaitu 10 tetes, 15 tetes, dan 20 tetes. Air yang telah ditetesi esens cengkeh diukur kembali pHnya. Tingkah laku ikan diamati dan dicatat sampai perubahan pada menit tertentu. Ikan yang telah berhasil dipingsankan, kemudian diangkat dari air dan diletakkan di atas baki. Waktu ikan selama pingsan (on set time) dihitung beserta waktu sadarnya (recovery time). Langkah selanjutnya adalah penyadaran ikan yang dilakukan dengan cara pengaliran air ke bagian insangnya dan ikan diletakkan kembali ke dalam air. Langkah terakhir, yaitu penimbangan bobot akhir ikan dan dicatat hasilnya. Prosedur imotilisasi dengan suhu rendah dilakukan dengan prosedur yang sama dengan imotilisasi menggunakan esens cengkeh. Es batu yang ditambahkan sebanyak 500g/10 menit. Diagram prosedur kerja pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan berbagai bahan anestesi disajikan pada Gambar 1.

   

Pengisian 4 L air ke dalam wadah

 

Pemasukan ikan ke dalam wadah

Penambahan bahan anestesi dan pengukuran suhu setiap 10 menit serta diamati tingkah lakunya

 

Ikan pingsan

 

Penimbangan bobot akhir

 

Ikan sadar

 

Ikan mas  (Cyprinus carpio)

yang telah dipuasakan

Penimbangan bobot awal ikan

Bahan anestesi

 

Penyadaran ikan

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan :                       : awal dan akhir proses

                                                   : persiapan proses

                                                   : proses

 

Gambar 1. Prosedur kerja pemingsanan pada biota perairan dengan menggunakan berbagai bahan anestesi.

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

            Anastesi pada ikan digunakan untuk meminimalkan motilitas selama penanganan dan transportasi. Anastesi juga dapat mengurangi kerentanan terhadap patogen dan infeksi  (Woody et al. 2002). Menurut Keene et al. (1998) dalam Hajek et al. (2006) bahan anestesi yang paling banyak digunakan adalah MS(Methanesulphonate tricaine), benzokain, etomidate, 2-phenoxyethanol, quinaldine, dan sulfat quinaldine. Bahan alami juga dapat digunakan sebagai anestesi, salah satunya esens cengkeh. Esens cengkeh merupakan obat bius alami yang memiliki efektifitas cukup baik. Percobaan menggunakan esens cengkeh dilakukan dengan 4 perlakuan yaitu esens cengkeh dengan konsentrasi 10 tetes, 15 tetes dan 20 tetes, yang masing-masing dilakukan dengan dua kali pengulangan. Perlakuan tambahan dilakukan dengan penambahan es sebanyak 1,5 kg sebagai pembanding. Data hasil pengamatan mengenai pengaruh penambahan esens cengkeh terhadap waktu onset dan waktu recovery ikan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh minyak cengkeh terhadap onset time dan recovery time       ikan mas (Cyprinus carpio)

Minyak Cengkeh

Onset time (menit) Ikan ke-

Recovery time (menit) Ikan ke-

1

2

3

1

2

3

10 tetes

17.11

17.40

18.05

00.30

02.30

02.44

 

23.17

24.40

25.18

02.45

2.00

02.21

15 tetes

08.27

08.27

09.16

04.00

03.00

05.00

 

08.20

10.36

11.15

02.31

01.41

04.59

20 tetes

12.00

12.00

12.00

06.28

06.42

07.10

 

05.54

06.50

08.30

05.54

09.37

10.07

            Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa onset time paling cepat terjadi pada ikan yang diberi perlakukan pemberian esens cengkeh sebanyak 20 tetes yaitu selama 5 menit 54 detik. Waktu onset paling lama terdapat pada ikan dengan pemberian esens cengkeh sebanyak 10 tetes yaitu 23 menit 17 detik. Hal ini menunjukkan semakin besar volume esens cengkeh yang digunakan untuk imotilisasi maka waktu on-set yang diperlukan semakin cepat, begitu pula sebaliknya. Pengamatan recovery time tercepat terdapat pada ikan yang diberi perlakuan pemberian 10 tetes cengkeh yaitu selama 30 detik, sedangkan waktu recovery terlama terdapat pada ikan dengan perlakuan pemberian esens cengkeh sebanyak 20 tetes yaitu 10 menit 7 detik.

            Kecepatan pemingsanan ikan tergantung pada dosis yang diberikan. Jika dosis yang diberikan sangat banyak, maka waktu pemingsanan semakin cepat, akan tetapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada ikan dikarenakan ikan memiliki daya kemampuan untuk beradaptasi yang cukup lambat.  Sebaliknya bila dosis yang diberikan sedikit, maka proses pemingsanan akan berlangsung lebih lama. Dosis bahan anestesi yang diberikan untuk memingsankan ikan tergantung dari jenis ikan, ukuran ikan, kepadatan ikan saat ditransportasikan, jenis bahan anestesi dan jarak transportasi ikan ke tempat tujuan (Ross dan Ross 2008). Hal tersebut dapat dibuktikan oleh data hasil pengamatan bahwa ikan yang diberi konsentrasi esens cengkeh paling banyak yaitu sebanyak 20 tetes mengalami waktu onset yang paling cepat dan waktu recovery yang paling lama. Hal sebaliknya terjadi pada ikan yang diberi perlakuan dengan pemberian esens cengkeh 10 tetes yang mengalami waktu onset paling lama dengan waktu recovery paling cepat.

            Proses pembiusan yang dilakukan untuk memingsankan ikan merupakan suatu tindakan yang menyebabkan ikan menjadi stres. Akibat yang ditimbulkan karena pengaruh stres adalah ikan memberikan respon yang dimulai dengan respon neuroendokrin. Respon ini mempengaruhi proses-proses fisiologis yang melibatkan sistem syaraf dan sistem hormon (endokrin) yang disebut sebagai pengaruh primer. Akibat yang ditimbulkan dari pengaruh primer yaitu adanya gangguan metabolik dan osmotik secara cepat yang disebut sebagai pengaruh sekunder. Hal ini dapat dikatakan bahwa ketika ikan dihadapkan pada kondisi stres maka sistem neuroendokrin akan melepaskan hormon ke dalam darah. Hal ini menyebabkan naiknya konsentrasi dari substansi ini yang kemudian mengganggu proses-proses fisiologi yang disebut dengan respon stres primer. Pengaruh primer dan sekunder merupakan faktor-faktor fisiologi yang dapat diukur. Hormon utama yang dapat dihasilkan dari respon primer adalah dilepaskannya senyawa katekolamin (adrenalin dan noradrenalin) dan kortikosteroid (kortisol dan kortison). Pengaruh sekunder meliputi gangguan osmoregulasi, penurunan asam ascorbic darah, perubahan dalam ikatan oksigen dan haemoglobin, naiknya metabolisme laktat dan lipid, perubahan kimia darah dan hematologi serta turunnya daya kekebalan tubuh terhadap penyakit. Pengaruh sekunder juga dapat menaikkan kadar gula darah (hyperglycemia) (Spotte 1992). Pengamatan pada beberapa tingkah laku dan refleks ikan juga diuji dalam praktikum ini. Data hasil pengamatan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengamatan tingkah laku ikan mas (Cyprinus carpio)

Tingkat/Tahapan

Indikator

Waktu (menit)

10 tetes

S1

Tubuh mulai miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan

09.30-12.08

 

S2

Tubuh miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan, sirip dan mulut tidak ada pergerakan

17.11-24.00

 

R1

Insang memperlihatkan pergerakan

02.00-03.00

 

R2

Ikan bergerak aktif kembali

07.00

15 tetes

S1

Tubuh mulai miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan

04.00-05.00

 

S2

Tubuh miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan, sirip dan mulut tidak ada pergerakan

08.00-10.00

 

R1

Insang memperlihatkan pergerakan

02.00-04.00

 

R2

Ikan bergerak aktif kembali

02.30-05.00

20 tetes

S1

Tubuh mulai miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan

03.00-03.30

 

S2

Tubuh miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan, sirip dan mulut tidak ada pergerakan

06.00-12.00

 

R1

Insang memperlihatkan pergerakan

06.00-10.00

 

R2

Ikan bergerak aktif kembali

Es

S1

Tubuh mulai miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan

16.00-19.00

 

S2

Tubuh miring, operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan, sirip dan mulut tidak ada pergerakan

23.00

 

R1

Insang memperlihatkan pergerakan

01.00-02.00

 

R2

Ikan bergerak aktif kembali

03.00-05.00

            Data pada Tabel 2 menunjukan pada fase S2 posisi tubuh ikan menjadi miring (mengalami disorientasi), operkulum memperlihatkan sedikit pergerakan. Sirip dan mulut tidak ada pergerakan terjadi paling lama pada ikan yang diberi perlakuan penambahan es yaitu selama 23 menit, namun pemberian es memiliki waktu recovery yang paling cepat yaitu 3-5 menit. Ikan dengan perlakuan pemberian esens cengkeh sebanyak 20 tetes mengalami fase S2 paling cepat yaitu selama 6-12 menit dengan waktu R2 yang cukup lama yaitu 6-10 menit.

            Tingkah laku ikan yang diakibatkan pemberian bahan anestesi memiliki pengaruh berbeda pada tiap spesies. Ikan yang berukuran besar memiliki tingkah laku dan daya tahan tubuh untuk merespon rangsangan tersebut lebih kuat dibandingkan ikan yang berukuran lebih kecil. Nurdjannah (2004), menyatakan bahwa minyak cengkeh mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan bahan lain yang terbuat dari bahan kimia termasuk MS, quinaldine dan benzocain. Keunggulan minyak cengkeh diantaranya: sangat efektif walaupun dalam dosis yang rendah, mudah dalam proses induksinya, memiliki waktu pemulihan kesadarannya (recovery time) lebih lama, dan harganya jauh lebih rendah dibandingkan bahan kimia lainnya. Menurut penelitian Hajek et al. (2006), dosis optimal esens cengkeh yang digunakan untuk pembiusan ikan adalah 30-50 mg/L. Pengamatan terhadap penurunan suhu dalam imotilisasi ikan juga dilakukan sebagai pembanding penggunaan anestesi minyak cengkeh. Jumlah es yang digunakan adalah 1,5 kg dalam 3 Liter air. Data hasil pengamatan pengaruh perlakuan penurunan suhu terhadap onset time dan recovery time ikan mas dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Pengaruh  penurunan suhu terhadap onset time dan recovery time       ikan mas

Jumlah es

Onset time (menit) Ikan ke-

Recovery time (menit) Ikan ke-

1

2

3

1

2

3

1.5 kg

23.00

23.00

23.00

05.00

04.52

03.00

1.5 kg

21.00

23.00

23.00

01.54

01.30

02.49

            Data pada tabel 3 menunjukkan bahwa ikan mengalami imotilisasi pada waktu onset rata-rata selama 23 menit dan waktu recovery minimal selama          1 menit 30 detik. Iimotilisasi pada ikan menggunakan suhu rendah bersifat kurang efektif dibanding penggunaan esens cengkeh karena membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memingsankan ikan dibandingkan dengan penggunaan esens cengkeh dan waktu recovery yang dimiliki es lebih cepat sehingga tidak efektif diterapkan dalam transportasi jarak jauh. Es dapat memingsankan ikan karena es berfungsi dapat menekan metabolisme ikan selama transportasi dan menyebabkan ikan menjadi tidak aktif (Boyd 1990 dalam Suwandi dan Saputra 2010).

            Cengkeh dapat menyebabkan imotilisasi pada ikan karena menghasilkan bahan aktif berupa eugenol (4-allul-2-methoxyphenol) dengan konsentrasi 70-90% dari volume esens cengkeh yang merupakan komponen fenolik yang dapat menghambat sintesis prostaglandin H (PHS) dan menghasilkan pengaruh analgesik dari minyak cengkeh (Sunarto et al. 1999). Esens cengkeh juga mengandung eugenol asetat (> 17%) dan β-karyofilen (> 12%). β-karyofilen adalah sesquiterpen yang memberi rasa pahit dan mempunyai aktivitas sebagai antifungal,antiseptik, anestetik dan antibakteri. Eugenol biasanya digunakan sebagai bahan analgesik dan antiseptik dalam kedokteran gigi manusia, sebagai bahan makanan tambahan untuk bumbu (Velisek et al. 2006), sebagai anestetik dan antibakteri (Nurdjannah 2004). Eugenol dapat digunakan sebagai bahan antimycotic dalam budidaya ikan, tapi sangat beracun untuk salmon. Menurut Ferreira et al. (1984) dalam Velisek et al. (2005) bahan anestesi ini diserap dan diekskresikan terutama melalui insang pada ikan.

            Perhitungan pH dilakukan untuk mengetahui perubahan kualitas air setelah diberi zat anastesi. Penambahan esens cengkeh dan es memberi pengaruh berbeda pada pH air. Data data hasil pengamatan pda pH air sebelum dan sesudah diberi perlakuan dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh pemberian bahan anestesi terhadap pH

Bahan anestesi

pH awal

pH akhir

Minyak cengkeh 0.53 ppm

7.11

6.03

Minyak cengkeh 0.79 ppm

7.26

6.13

Minyak cengkeh 1.06 ppm

7.10

6.29

Es

6.85

6.30 

            Tabel 4 menunjukkan penambahan cengkeh memberi pengaruh lebih nyata terhadap kualitas air dibanding es. Penambahan minyak cengkeh dengan konsentrasi 0.53 ppm, 0.79 ppm, dan 1.06 ppm menyebabkan perubahan pH sebesar 1,08, 1,13, dan 0,81, sedangkan penambahan es menyebabkan perubahan pH sebesar 0,55. Minyak cengkeh dengan konsentrasi 0,79 ppm menyebabkan perubahan pH lebih besar yakni 1,11. Penambahan cengkeh dapat meningkatkan kadar karbondioksida yang merupakan hasil respirasi dibanding penambahan es. Konsentrasi karbondioksida yang tinggi inilah yang dapat menurunkan pH air. Secara umum semakin tinggi konsentrasi cengkeh yang digunakan maka kadar CO2 yang dihasilkan ikan semakin besar. Kadar CO2 yang tinggi dapat membahayakan ikan karena dapat menyebabkan terjadinya hiperkapnia. pH yang rendah pada air selain menghasilkan CO2 juga akan menghasilkan NH4+. Pengaruh NH4+ yang dapat menurunkan pH dijelaskan melalui reaksi kesetimbangan berikut: NH3 + H+  NH4+  + OH. Saat konsentrasi CO2 dan NH4+ tinggi maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri sehingga pembentukan H+ akan meningkat. Hal ini yang menyebabkan pH air menurun (Affandi 2006).

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

             Minyak cengkeh dapat digunakan sebagai alternatif bahan anestesi alami pada biota perairan. Hasil percobaan menunjukkan pemberian esens cengkeh dengan konsentrasi 1.06 ppm (20 tetes) memiliki onset time paling cepat yaitu 5 menit 54 detik sedangkan on-set paling lama terdapat pada esens cengkeh dengan konsentrasi 0,53 ppm. Semakin tinggi konsentrasi esens cengkeh maka semakin cepat waktu onset yang dibutuhkan. Pengamatan recovery time tercepat terdapat pada ikan yang diberi perlakuan pemberian 10 tetes cengkeh (0,53 ppm) yaitu 30 detik, sedangkan waktu recovery terlama terdapat pada ikan dengan perlakuan pemberian esens cengkeh sebanyak 20 tetes (1.06 ppm ) yaitu 10 menit 7 detik. Cengkeh dapat digunakan sebagai bahan anestesi karena mengandung eugenol yang dapat menghambat sintesis prostaglandin H (PHS). Pemberian cengkeh sebagai anestesi dapat memberikan perubahan pH lebih besar (0,81-1,08) dibanding  pemberian es (0,55).

 

Saran

            Praktikum pemingsan pada biota perairan dengan berbagai bahan anestesi sebaiknya menggunakan biota yang lebih beragam seperti biota air laut atau air payau agar pengaruh pemingsanan antara jenis biota tersebut dapat dibandingkan. Perlu dilakukan pengamatan menggunakan bahan anastesi yang lebih beragam agar perbedaan pengaruhnya dapat diketahui.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Affandi R dan Tang UM. 2002. Fisiologi Hewan Air. Unri Press: Riau.

 

Hajek GJ, K£yszejko B, Dziaaman R. 2006 The anaesthetic effect of clove oil on common carp, Cyprinus carpio. Acta Ichthyologica Et Piscatoria 36(2): 93-97.

 

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Produksi ikan mas.http://www.kkp.go.id. [4 Juli 2012].

 

Nurdjannah N. 2004. Diversifikasi penggunaan cengkeh. Perspektif 3(2): 61-70

 

Ross LG dan Ross B. 2008. Anaesthetic and Sedative Techniques for Aquatic Animals. Scotland: Blackwell Publishing.

 

Spotte S. 1992. Captive Seawater Fishes. New York: John Willey and Sons.

 

Sufianto. 2008. Uji transportasi ikan maskoki (Carassius auratus Linnaeus) hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi oksigen. [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

 

Sunarto, Solichatun, Listyawati S, Etikawati N dan Susilowati A. 1999. Aktivitas antifungal esens kasar daun dan bunga cengkeh (Syzigium aromaticum L.) pada pertumbuhan cendawan perusak kayu. Bio SMART 1(2) : 20-27.

 

Suwandi R dan Saputra D. 2010. Teknologi Penanganan dan Transportasi BiotaPerairan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan.

 

Velisek J, Svobodova Z, Piackova. 2005. Effects of Clove Oil Anaesthesia on Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss). ACTA VET. BRNO 74: 139-146

 

Velisek J, Wlasow T, Gomulka P, Svobodova Z, Novotn, Ziomek E. 2006. Effects of Clove Oil Anaesthesia on European Catfish (Silurus glanis L.). ACTA VET. BRNO 75: 99–106.

 

Woody CA, Nellson J, Ramstad K 2002: Clove oil as an anaesthetic for adult sockeye salmon: field trials. Journal of Fish Biology 60 340–347.

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

Lampiran 1 Morfologi ikan mas (Cyprinus carpio)

 

Sumber: Koleksi Pribadi (2012)

 

Laporan Transportasi 4

Posted: Agustus 8, 2012 in Transportasi Perairan

Laporan Praktikum ke-4                                     Hari/Tanggal: Rabu/ 11 Juli 2012

m.k.Teknologi Penanganan dan                         Asisten         : Sabri Sudirman

       Transportasi Biota Perairan

 

 

 

 

PENGARUH JENIS IKAN DAN DENSITAS DALAM SISTEM TRANSPORTASI BASAH

 

 

 

 

 

Oleh:

Kelompok 6

  1. Sita Panca Rini                        (C14100054)
  2. Pradana Arthama                     (C24100072)
  3. Prisca Sari Paramudhita         (C34100004)
  4. Sonya Ayu Utari                     (C34100025)
  5. Elvina Melati                          (C34100053)
  6. Theresia Puspita A.                (C34100080)  

 

 

 

 

DEPERTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu komoditas perairan tawar yang cukup berkembang di Indonesia. Kedua jenis ikan tersebut memiliki toleransi yang tinggi terhadap perubahan lingkungan dan pertumbuhannya cepat sehingga banyak dijadikan sebagai ikan budidaya. KKP (2011) menyatakan produksi ikan mas pada tahun 2011 mencapai 380.000  ton, jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan target awal sebesar 280.000 ton. Produksi ikan nila juga meningkat yang semula 469.173 ton pada tahun 2010 meningkat 36,26% menjadi sebanyak 639.300 ton. Permintaan masyarakat terhadap kedua komoditas tersebut cukup besar dan harganya pun mencapai tiga hingga empat kali lipat dibanding harga ikan yang mati. Hal ini menyebabkan diperlukannya sistem transportasi yang baik dan benar agar ikan  dapat bertahan hidup hingga ke tangan konsumen.      

            Transportasi ikan hidup adalah memindahkan biota perairan dalam keadaan hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup (survival rate) tetap tinggi hingga di tempat tujuan.  Transportasi ikan hidup dibagi menjadi dua, yaitu transportasi menggunakan media air atau transportasi basah dan transportasi tanpa media air atau transportasi kering  (Miranti 2011). Faktor-faktor yang mempengaruhi transportasi ikan hidup dapat dibagi menjadi beberapa macam diantaranya jenis ikan dan kepadatan. Kepadatan ikan adalah bobot ikan yang berada dalam suatu wadah dan waktu tertentu. Kepadatan ikan yang dapat diangkut tiap wadah, dengan atau tanpa kematian ikan merupakan persoalan penting dalam pengangkutan. Tingkat kepadatan ikan perlu mendapatkan perhatian lebih, karena bila ikan diangkut pada kepadatan yang terlalu tinggi, kadar glikogen dalam plasma darah meningkat dan mempengaruhi kondisi ikan (Jurnianto 1996 dalam Suwandi dan Saputra 2010). Hal ini yang membuat perlu dilakukannya pengamatan mengenai pengaruh jenis ikan dan kepadatan dalam transportasi hidup biota perairan.

Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah mengetahui pengaruh densitas dan jenis ikan terhadap simulasi transportasi basah.

BAHAN DAN METODE

 

Waktu dan Tempat

     Praktikum pengaruh densitas dan jenis ikan pada transportasi basah dilakukan hari Rabu tanggal 11 Juli 2012. Praktikum dimulai pukul 13.00 WIB sampai pukul 16.30 WIB. Kegiatan dilakukan di Laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

            Bahan yang digunakan dalam praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan berbagai bahan anestesi, yaitu ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus). Alat utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah wadah toples, meja getar, termometer, gelas ukur, timbangan akuarium, dan DO meter.

Prosedur Kerja

            Praktikum ini dilakukan dengan menggunakan ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus) yang telah dipuasakan. Ikan mas dan ikan nila tersebut kemudian dilakukan penimbangan sebagai bobot awal dan dimasukkan ke dalam wadah toples yang sudah diisi air sebanyak 3 L dan dilakukan pula pengukuran suhu sebagai suhu awal serta pencatatan pengukuran bobot awal dan suhu awal pada menit  ke-0. Perbedaan densitas yang digunakan adalah 3 dan 5 untuk masing-masing jenis biota. Pengunaan simulasi transportasi dengan meja getar. Alat simulasi tersebut jika diaktifkan akan bergetar. Pada setiap sisi alat simulasi ini diberi roda. Hal ini bertujuan agar pada saat penelitian sekali-kali alat dapat digoyangkan ke kanan dan ke kiri menggunakan roda. Alat tersebut bergetar keatas dan kebawah dengan stabil. Setiap 15 menit sekali alat tersebut digerakkan ke kanan dan kekiri sejauh kurang lebih 5 cm. pengamatan juga di lakukan kualitas air dari DO dan suhu. Diagram prosedur kerja pengaruh densitas dan jenis ikan pada transportasi basah disajikan pada Gambar 1.

   

 

Simulasi meja getar

Pengadaptasian

Pemuasaan

Penimbangan

Ikan Air Tawar  Hidup

 

Pengamatan tingkah laku ikan dan kualitas air

Perhitungan survival rate (%)

Hasil data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan :                       : awal dan akhir proses

                                                   : proses

 

Gambar 1 Prosedur kerja pengaruh densitas dan jenis ikan pada transportasi basah

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

            Transportasi ikan dengan sistem basah dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka dilakukan pada wadah terbuka berisi air dan ikan. Sistem tertutup dilakukan dengan menutup wadah sehingga suplai oksigen terbatas (Hajek et al. 2006).  Densitas dan jenis ikan adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan proses transportasi ikan hidup. Keberhasilan suatu transportasi dilihat dari seberapa banyak ikan yang masih hidup setelah transportasi (survival rate). Hasil dari simulasi transportasi sistem basah terbuka dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh densitas terhadap bobot tubuh ikan, DO, suhu air, dan kekeruhan air pada ikan mas (Cyprinus carpio) dan ikan nila (Oreochromis niloticus) selama simulasi trasnportasi basah

Ikan

Densitas (ekor/3L)

Bobot ikan (gr)

DO (menit)

Suhu (OC)

Kekeruhan (NTU)

Wo

W1

0

15

30

45

60

0

15

30

45

60

0

15

30

45

60

Ikan Mas

3

183

182,67

4,11

0,27

0,42

0,38

0,33

27,2

27,9

28,1

28,2

28,3

6,2

10,8

2,5

11,1

2,9

5

188,2

191,4

4,28

0,2

0,42

0,34

0,14

27,2

27,7

28

28,1

28,3

0

1

1,6

1,8

9,4

Ikan Nila

3

211,3

216,67

4,30

0,34

0,37

0,77

0,53

27,2

27,5

27,9

28,2

28,3

4,5

3,8

4,4

6,7

10,6

5

204,8

207

4,37

0,18

0,17

0,24

0,24

27,3

27,9

28,2

28,4

28,6

4,6

0,6

2,5

13,3

10,8

 

            Data pada Tabel 1 menunjukkan bahwa pada umumnya terjadi peningkatan bobot ikan mas selama transportasi. Hal ini dapat terlihat pada bobot akhir ikan mas dengan densitas 5 ekor/3L, ikan nila dengan densitas 3 ekor/3L dan 5 ekor/3L yang mengalami peningkatan. Hal sebaliknya terjadi pada ikan mas dengan densitas 3 ekor/3L yang mengalami penurunan dari 183 gr menjadi   182,67 gr. Nilai DO yang terukur umumnya berfluktuasi sepanjang pengamatan selama 60 menit. Nilai DO mengalami penurunan pesat setelah ikan dimasukkan ke dalam air. Berbeda dengan DO, hasil pengamatan terhadap suhu menunjukkan semua perlakuan mengalami peningkatan suhu yang tidak terlalu signifikan. Peningkatan ini hanya berkisar 1,1 oC -1,3 oC. Hasil pengamatan parameter kekeruhan menunjukkan pada seluruh perlakuan, semakin lama waktu transportasi, semakin besar nilai kekeruhan yang terukur.

            Bobot ikan merupakan salah satu parameter penting yang menjadi pusat perhatian konsumen. Jika dilihat dari parameter bobot, transportasi biota hidup yang berhasil adalah transportasi yang hanya sedikit mengalami kehilangan bobot pada biota yang ditransportasikan. Ikan pada umumnya akan mengalami susut bobot selama transportasi. Hal ini dapat terjadi karena keadaan stres yang dialami ikan selama transportasi. Stres dapat menyebabkan penyusutan bobot ikan terjadi penggunaan cadangan energi dalam bentuk karbohidrat (glikogen), lemak dan protein saat stress.  Penyebab stres ikan yaitu suhu lingkungan, kepadatan ikan dalam wadah pengangkutan, feses dan urin yang dihasilkan, jalan yang kurang halus, lamanya waktu pengangkutan, dan banyak faktor lain yang dapat meningkatkan stres ikan  (Kurniawan 2012). Hasil pengamatan yang didapat tidak sesuai dengan pernyataan Kurniawan (2012). Perbedaan hasil yang didapat dapat disebabkan karena kesalahan kalibrasi dan kesalahan dalam penimbangan bobot ikan. Kesalahan ini berupa masih terdapatnya air di dalam mulut dan insang ikan selama transportasi yang belum dikeluarkan sehingga dapat menambah berat bobot ikan.  

            Transportasi ikan dengan mengunakan sistem basah harus memperhatikan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas ikan selama perjalanan. Salah satunya dengan menjaga kualitas air selama pengiriman. Kesehatan  ikan  dipengaruhi  oleh  perubahan  parameter  kualitas  air selama  proses  transportasi.  Parameter  yang  harus  dipertimbangkan adalah  suhu,  oksigen  terlarut,  pH,  karbon  dioksida,  amonia  dan keseimbangan  garam  darah  ikan.  Tingkat  perubahan  setiap parameter dipengaruhi oleh berat dan ukuran ikan yang akan diangkut dan durasi transportasi (Borel 2001).

            Oksigen terlarut di air pada semua perlakuan mengalami penurunan. Meskipun pada menit ke – 30 terjadi peningkatan oksigen terlarut tetapi pada menit ke – 45 terjadi penurunan kembali. Hal ini disebabkan kerena ikan sedang mengalami fase stress sehingga konsumsi oksigen semakin meningkat dan akhirnya semakin berkurang akibat lemas. Menurut Sufianto (2008),  ketika  oksigen  terlarut  dalam air  terbatas,  ikan harus  melewatkan  air  dalam  volume  besar  melalui  insang  mereka dengan  gerakan  mulut  dan  operculum.  Insang  mambantu  aliran  air dan  darah  sehingga  memaksimalkan  O2  larut  ke  dalam darah, sehingga  oksigen  dengan  kelarutan  rendah  akibat  kepadatan tinggi dapat memacu percepatan proses pernafasan ikan dan memicu terjadinya stres. Supriyono (2010) menyatakan konsentrasi DO dalam media air pengepakan semakin menurun dengan bertambahnya waktu transportasi ikan hidup. Peningkatan DO pada menit ke-30 dapat disebabkan oleh getaran. Getaran dapat mempengaruhi difusi oksigen sehingga jumlah oksigen dapat meningkat pada sistem transportasi terbuka.

            Menurut Kurniawan (2012) ikan  adalah  hewan  berdarah  dingin,  sehingga  tingkat  metabolisme ikan  dipengaruhi  oleh  suhu  lingkungan.  Tingkat  metabolisme  ikan akan  berlipat  ganda  untuk  setiap  kenaikan  suhu  18 °F  (10 °C)  dan dikurangi  setengahnya  untuk  setiap  penurunan  suhu  18 °F  (10 °C). Tingkat metabolisme berkurang akan menurunkan konsumsi oksigen, produksi  amonia  dan  produksi  karbon  dioksida, oleh karena  itu, sangat penting untuk transportasi ikan sebagai suhu rendah. Suhu 55 °F – 60 °F  (12 °C -15 °C)  dianjurkan  untuk  transportasi  ikan  sub  tropis, sedangkan  untuk  ikan  tropis  seperti  nila,  suhu  wadah  transportasi sebaiknya  mendekati  15 °C.  Penurunan  suhu  air  diharapkan  secara bertahap dengan penambahan air dingin.

Data suhu pada tabel menunjukkan bahwa semakin lama waktu tempuh dalam simulasi transport ikan yang diperlukan, maka semakin meningkat temperatur air. Hal ini disebabkan adanya pengaruh panas yang dikeluarkan dari tubuh ikan karena ikan mangalami stres yang semakin tinggi. Hal tersebut berdampak pada konsentrasi DO di air. Menurut Suparno dan Irianto (1995), setiap peningkatan suhu media akan menyebabkan peningkatan aktivitas metabolisme dan mengurangi kelarutan oksigen, dan metabolisme yang tinggi mempercepat penurunan kualitas air oleh senyawa metabolit.

Kekeruhan ikan mas dengan densitas 3 ekor/3L mengalami penurunan dari menit ke-0, 15, 30, 45, dan 60 sebesar 6.2 NTU, 10.8 NTU, 2.5 NTU, 11.1 NTU, dan 2.9 NTU, sedangkan untuk ikan mas dengan densitas 5 ekor/3L, ikan nila densitas 3 ekor/3L, dan ikan nila densitas 5 ekor/3L kekeruhan semakin meningkat. Meningkatnya kekeruhan ikan disebabkan karena metabolisme dan pencernaan yang semakin meningkat. Hal ini terjadi akibat respon ikan terhadap stres, faktor lain yang mempengaruhi adalah suhu media yang semakin meningkat. Menurut Fujaya (2004) pada proses pencernaan, suhu tubuh berperan dalam pengeluaran sekresi asam lambung untuk proses pencernaan. Proses pencernaan akan semakin meningkat dengan meningkatnya suhu. Suhu tinggi secara simultan akan berpengaruh pada proses metabolisme dan pencernaan. Meningkatnya proses metabolisme menyebabkan meningkatnya kebutuhan bioenergenetika dan secara langsung berdampak pada peningkatan konsumsi oksigen.

Ikan nila (Oreochromis niloticus) dan ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan jenis ikan air tawar yang sering dibudidayakan. Kedua ikan ini memiliki keunggulan berupa pertumbuhannya yang cepat dan mudah beradaptasi dengan lingkungan. Jikan diurutkan, ikan mas merupakan jenis ikan yang lebih sering dibudidayakan dibanding ikan nila karena daya adaptasinya yang lebih tinggi (Dobsikova 2009). Pernyataan tersebut tercermin pada hasil pengamatan tingkah laku ikan yang menunjukkan bahwa tingkat kestresan ikan nila lebih tinggi dibanding ikan mas. Daya adaptasi ikan mas yang tinggi menunjang kehidupannya pada perubahan lingkungan berupa getaran dan densitas. Tidak ada ikan mas yang pingsan hingga akhir pengamatan, sedangkan 2 ekor ikan nila pingsan pada perlakuan densitas 5 ekor. Ikan mas hanya menunjukkan perubahan tingkah laku yaitu pergerakan tubuh melemah, gerak sirip insang lambat, dan sekresi anal yang cukup banyak namun belum sampai tahap imotil.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

           

 

Saran

            Praktikum pengaruh densitas dan jenis ikan pada transportasi basah sebaiknya menggunakan biota yang lebih beragam seperti biota air laut atau air payau agar pengaruh transportasi antara jenis biota tersebut dapat dibandingkan. Perlu dilakukan pengamatan menggunakan transportasi tertutup dan transportasi kering agar perbedaan pengaruhnya terhadap biota dapat diketahui.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Borel. 2001. The Biology Of Stress And Its Application To Livestock Housing Transportation Assesment. Animal Science. 5:16-21

 

Dobsikova, Svobodova, Blahova, Modra, Velisek. 2009. The effects of transport on biochemical and hematological indices of Cyprinus carpio.Veterinary and Pharmaceutical Sciences Journal 54(11): 510-518

 

Fujaya. 2004. FisiologiIkan: Dasar Pengembangan Teknik Perikanan. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

 

Hajek GJ, K£yszejko B, Dziaaman R. 2006 The anaesthetic effect of clove oil on common carp, Cyprinus carpio. Acta Ichthyologica Et Piscatoria 36(2): 93-97.

 

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Produksi ikan mas.http://www.kkp.go.id. [4 Juli 2012].

 

Kurniawan A. 2012. Transportasi ikan hidup.[makalah]. Bangka Belitung: Fakultas Pertanian, Perikanan dan Biologi Universitas Bangka Belitung

 

Miranti. 2011. Studi Transportasi Ikan Mas (Cyprinus carpio) Menggunakan Sistem Kering dengan Media Busa. [PKM-AI].Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

 

Sufianto. 2008. Uji transportasi ikan maskoki (Carassius auratus Linnaeus) hidup sistem kering dengan perlakuan suhu dan penurunan konsentrasi oksigen. [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

 

Suparno dan Irianto. 1995. Transportasi Ikan Hidup dan Teknologi Pascapanen. Prosiding Temu Usaha Pemasyarakatan Teknologi Keramba Jaring Apung bagi Budidaya Laut. Jakarta. 88-106.

 

Supriyono. 2010. Respon Fisiologi Benih Ikan Kerapu Macan Epinephelus fascoguttatusterhadap Penggunaan Minyak Sereh dalam Transportasi Tertutup dengan Kepadatan Tinggi. Jurnal Ilmu Kelautan 15(2): 103-112.

 

Suwandi R dan Saputra D. 2010. Teknologi Penanganan dan Transportasi BiotaPerairan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan.

 

 

 

 

 

Laporan Transportasi 2

Posted: Agustus 8, 2012 in Transportasi Perairan

Laporan Praktikum ke-2                                     Hari/Tanggal: Jumat/ 6 Juli 2012

m.k.Teknologi Penanganan dan                         Asisten         : Esa Ghanim Fadhallah

       Transportasi Biota Perairan

 

 

 

 

PEMINGSANAN (IMOTILISASI) PADA BIOTA PERAIRAN DENGAN SUHU

 

 

 

 

 

Oleh:

Kelompok 6

  1. Sita Panca Rini                        (C14100054)
  2. Pradana Arthama                     (C24100072)
  3. Prisca Sari Paramudhita         (C34100004)
  4. Sonya Ayu Utari                     (C34100025)
  5. Elvina Melati                          (C34100053)
  6. Theresia Puspita A.                (C34100080)  

 

 

 

 

DEPERTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan salah satu komoditas perairan tawar yang cukup berkembang di Indonesia. KKP (2011) menyatakan produksi ikan mas pada tahun 2011 mencapai 380.000  ton, jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan target awal sebesar 280.000 ton. Permintaan masyarakat terhadap ikan mas hidup cukup besar dan harganya pun mencapai tiga hingga empat kali lipat dibanding harga ikan mas mati. Hal ini menyebabkan diperlukannya sistem transportasi yang baik dan benar agar ikan mas dapat bertahan hidup hingga ke tangan konsumen.      

            Transportasi ikan hidup adalah memindahkan biota perairan dalam keadaan hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup (survival rate) tetap tinggi hingga di tempat tujuan.  Transportasi ikan hidup dibagi menjadi dua, yaitu transportasi menggunakan media air atau transportasi basah dan transportasi tanpa media air atau transportasi kering  (Miranti 2011). Metode efektif dalam transportasi ikan adalah menggunakan metode immotilisasi (pemingsanan). Immotilisasi biota peraian bertujuan untuk menurunkan aktivitas, metabolisme, dan respirasi  biota perairan sehingga dapat memperpanjang waktu transportasi (Fauziah et al.2010).

            Imotilisasi pada ikan dapat dilakukan menggunakan suhu rendah. Metode penggunaan suhu rendah dapat dilakukan secara langsung maupun bertahap.  Penanganan suhu rendah membuat ikan hidup dalam kondisi terbius sebelum dikemas dan ditransportasikan. Metode ini bersifat efisien dan aman meskipun risiko kematian pada ikan lebih besar (Karnila dan Edison 2001). Penurunan suhu secara bertahap dan langsung memberikan efek yang berbeda. Hal ini yang membuat perlu dilakukannya percobaan untuk mengetahui pengaruh imotilisasi menggunakan suhu pada ikan.

Tujuan

Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu bertahap bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap daya tahan biota perairan.

 

BAHAN DAN METODE

 

Waktu dan Tempat

     Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu dilakukan hari Jum’at tanggal 6 Juli 2012. Praktikum dimulai pukul 13.30 WIB sampai pukul 16.30 WIB. Kegiatan dilakukan di laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

            Bahan yang digunakan dalam praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu yaitu ikan mas (Cyprinus carpio). Bahan tambahan yang digunakan adalah es batu. Alat utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah wadah toples. Alat tambahan yang digunakan adalah thermometer, timbangan akuarium, glukosa meter, dan aerator.

Prosedur Kerja

            Praktikum pemingsanan pada biota perairan dengan suhu dilakukan pada biota ikan mas (Cyprinus carpio) yang telah dipuasakan. Ikan mas tersebut ditimbang untuk mengetahui bobot awal. Ikan mas kemudian dimasukkan ke dalam wadah toples yang sudah diisi air sebanyak 3 L dan dilakukan pula pengukuran suhu sebagai suhu awal serta pencatatan pengukuan bobot awal dan suhu awal pada menit ke-0. Imotilisasi dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap dan langsung dari suhu air normal (suhu kamar) ke  suhu imotil 13 ºC, 14 ºC, dan 15 ºC. Ikan mas pada suhu 13 ºC, 14 ºC, dan 15 ºC tidak mengalami imotilisasi maka setelah pengamatan lebih dari 60 menit, air toples diberi es batu lebih banyak sampai ikan pingsan. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu ke dalam media ikan secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai. Pengamatan dilakukan setiap 15 menit untuk mengetahui respon ikan mas pada berbagai tahap suhu selama proses pembiusan. Diagram prosedur kerja pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu disajikan pada Gambar 1.

 

Pengadaptasian

Pemuasaan

Penimbangan

Pemingsanan bertahap dan langsung

Suhu pembiusan 15oC

Suhu pembiusan 14oC

Suhu pembiusan 13 oC

Waktu pembiusan 60 menit

Pengamatan aktivitas ikan, Penukuran bobot akhir, dan Pengukuran gula darah

Ikan hidup

 

Data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                            Keterangan :            : awal dan akhir proses

                                                   : persiapan proses

                                                   : proses

Gambar 1. Diagram alir prosedur kerja

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

            Pemingsanan bertujuan untuk memperpanjang waktu transportasi dengan menekan metabolisme dan aktivitas ikan serta mengurangi resiko stres pada ikan yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Suparno et al. 1994). Pengamatan pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu dilakukan dengan dua perlakuan yaitu pemingsanan secara bertahap dan secara langsung pada 60 menit pertama. Penggunaan suhu rendah menurut Syamdidi et al. (2006) terbukti efektif untuk mengurangi aktivitas ikan selama transportasi dan meningkatkan ketahanan hidup ikan. Penurunan suhu dapat menekan respirasi dan aktivitas ikan, selain itu penggunaan suhu rendah memungkinkan ikan dapat ditranportasikan dengan menggunakan media bukan air seperti serbuk gergaji lembab yang didinginkan. Pengamatan pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu, mengunakan tiga perbedaan suhu yaitu 13 °C, 14 °C, dan 15 °C. Perlakuan tersebut dilakukan untuk mengamati perubahan perilaku pada ikan mas    (Cyprinus carpio). Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara bertahap pada ikan mas (Cyprinus carpio) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara bertahap

Perlakuan

Waktu (menit)

0

15

30

40

60

Kontrol

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

13

Lambat

Lambat

Semakin lambat

Semakin lambat

Semakin lambat

14

Normal

Lambat

Lambat

Semakin lambat

Semakin lambat

15

Normal

Normal

Sedang

Lambat

Lambat

            Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa ikan dengan perlakuan suhu 14 °C mulai bergerak lambat pada menit ke- 15. Ikan pada perlakuan suhu 13 °C bergerak lambat pada menit ke-0, sedangkan ikan dengan perlakuan suhu 15 °C mulai bergerak lambat pada menit ke-40. Semua ikan bergerak semakin lambat dari menit ke-0 hingga menit ke-60, kecuali ikan dengan perlakuan kontrol. Suhu 14 °C merupakan suhu yang paling baik untuk pemingsanan ikan jika dibandingkan dengan suhu 13 °C dan 15 °C karena pergerakan ikan lebih cepat melambat pada menit ke-15, meskipun pada suhu 13 °C pergerakan ikan lambat pada menit ke-0,  diduga ikan telah kehabisan energi pada saat pemindahan dari akuarium ke toples. Hasil yang didapat pada praktikum tidak sesuai dengan literatur. Menurut Karnila dan Edison (2001),  suhu yang baik digunakan untuk pembiusan ikan adalah suhu 15 °C jika dibandingkan suhu 12 °C karena tubuh ikan masih normal sedangkan pada suhu 12 °C tubuh ikan menjadi keras dan kaku karena terlalu dingin sehingga banyak ikan yang mati. Berka dan Stuart (1986) menambahkan bahwa pada suhu 15 °C ikan dalam keadaan tenang dan memiliki tingkat metabolisme serta respirasi yang rendah sehingga diharapkan ketahanan hidup di luar habitatnya lebih tinggi. Kondisi ikan yang tenang mempermudah dalam proses pengangkutan selama transportasi karena ikan tidak meronta atau bergerak.  Perbedaan hasil yang didapat dalam literatur diduga disebabkan oleh perbedaan perbedaan bobot ikan yang digunakan. Menurut Syamdidi et al. (2006) jenis ikan juga dapat mempengaruhi pemingsanan ikan, sebagai contoh ikan gurami mengalami pemingsanan pada suhu 13,6 °C, sedangkan ikan mas dalam percobaan mengalami pemingsanan pada kisaran suhu 2 °C – 11 °C.

            Penurunan suhu secara langsung memberikan pengaruh berbeda dengan penurunan suhu secara bertahap pada ikan mas. Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara langsung pada ikan mas disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara langsung

Perlakuan

Waktu (menit)

0

15

30

40

60

Kontrol

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

13

Normal

Lambat

Lambat

Lambat

Semakin lambat

14

Normal

Lambat

Normal

Agresif

Agresif

15

Normal

Lambat

Lambat

Lambat

Semakin lambat

            Tabel 2 menunjukkan bahwa semua perlakuan pada ikan, kecuali perlakuan kontrol bergerak lambat pada menit ke-15, namun ikan dengan perlakuan suhu 14 °C kembali normal dan agresif pada menit ke-30. Suhu pembiusan secara langsung yang paling efektif adalah suhu 13 °C dan 15 °C karena ikan bergerak lambat pada menit ke-15. Ikan mengalami masa panik pada saat penurunan suhu secara langsung namun ikan dapat dengan cepat beradaptasi dengan suhu tersebut (Boyd 1990 dalam Suwandi dan Saputra 2010). Menurut Wibowo (2002), dalam kajian fisiologis ikan pada suhu rendah, setelah ikan mengalami masa panik, selanjutnya ikan kehilangan keseimbangan, dan terjadi disorientasi sehingga ikan roboh (pingsan). Penambahan es dapat membuat ikan pinsang karena es berfungsi untuk menekan metabolisme ikan selama transportasi dan menyebabkan ikan menjadi tidak aktif (Boyd 1990 dalam Suwandi dan Saputra 2010).

            Pemingsanan dengan perlakuan penyesuaian suhu secara bertahap dan langsung, dapat mempengaruhi kadar gula darah ikan. Perubahan kadar gula darah merupakan pengaruh tingkat stres yang dialami ikan. Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu rendah terhadap kadar glukosa darah yang dilakukan dalam percobaan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Pemingsanan Menggunakan Suhu Rendah Terhadap Kadar Glukosa Darah

Suhu (°C)

Perlakuan

Kadar glukosa (mg/dL)

Kontrol

Kontrol

123

13

Langsung

180

 

Bertahap

173

14

Langsung

116

 

Bertahap

180

15

Langsung

175

 

Bertahap

157

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tertinggi pada perlakuan secara langsung terdapat pada suhu 13 °C sebesar 180 mg/dL. Kadar glukosa darah terendah terdapat pada suhu 14°C sebesar 116 mg/dL. Kadar glukosa darah tertinggi pada perlakuan penurunan suhu secara bertahap, terdapat pada suhu      14 °C yaitu 180 mg/dL. Kadar glukosa yang terendah terdapat pada suhu 15 °C. Kadar gula darah kontrol sebesar 123 mg/dL. Menurut Harikhrisnan et al. (2002) kadar glukosa darah untuk ikan mas dalam kondisi normal yaitu 135,5 mg/dL. Perbedaan kadar gula darah kontrol yang didapat dengan literatur diduga disebabkan oleh perbedaan bobot ikan, habitat, makanan, umur, dan jenis kelamin.

 Jika dibandingkan dengan kadar glukosa kontrol, rata-rata kadar glukosa darah pada semua perlakuan lebih besar daripada kadar glukosa darah kontrol karena ikan mengalami tingkat stres yang tinggi sehingga membutuhkan energi dengan membentuk glukosa darah yang lebih tinggi. Barton and Iwama (1999) menyatakan tingkat stres yang dialami organisme akan berpengaruh pada sekresi hormonal yang salah satunya akan mempengaruhi kadar gula darah yang dimilikinya. Hormon yang dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi. Goenarso (2003) menambahkan salah satu respon tubuh terhadap stres adalah teraktivasinya epineprin dan norepineprin yang dapat mengakibatkan denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot, serta peningkatan kebutuhan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental (Greenberg 2002). Stres pada hewan menimbulkan peningkatan konsentrasi kortisol, peningkatan potensial glikolisis, meningkatnya asam laktat, meningkatnya konduktifitas elektrik, dan menurunnya pH daging postmortem (Porchase et al 2009). Stres juga berdampak pada pertumbuhan, penurunan berat badan, penurunan glikogen, dan penurunan sel leukosit (Phillips 2002). Ikan yang diberi perlakuan awal penurunan suhu sacara bertahap secara umum memiliki kadar gula darah yang lebih rendah dibanding ikan yang mengalami penurunan suhu secara langsung. Hal ini dikarenakan ikan yang diberi suhu secara bertahap akan mengalami aklimatisasi (penyesuaian suhu terhadap lingkungan), sehingga tingkat stres yang dialami ikan lebih rendah. Hal ini yang menyebabkan kadar gula darah pada penurunan suhu secara bertahap lebih rendah dibanding penurunan suhu secara langsung (Syamdidi et al. 2006).

Suhu yang digunakan dalam pemingsanan ikan berpengaruh pada waktu pemingsanan ikan. Grafik hubungan antara waktu pemingsanan dengan suhu yang digunakan untuk membius ikan disajikan pada Gambar 2.

 

Gambar 2. Hubungan antara waktu pemingsanan dengan suhu

            Gambar 2 menunjukkan suhu 7 °C memerlukan waktu pemingsanan paling lama yakni 80 menit, sedangkan suhu  2 °C membutuhkan waktu pemingsanan yang beragam yakni 62 menit, 72,4 menit, dan 68 menit. Perbedaan waktu pemingsanan pada suhu 2 °C disebabkan perlakuan awal yang berbeda yang dialami ikan, karena ikan pada suhu akhir 2 °C mengalami perlakuan awal penurunan suhu 13 °C, 14 °C secara langsung dan penurunan suhu 15 °C secara bertahap. Secara umum semakin rendah suhu lingkungan maka waktu yang dibutuhkan untuk pemingsanan ikan semakin cepat. Syamdidi et al. (2006) menyatakan semakin rendah suhu maka semakin efektif suhu untuk menekan laju respirasi, produksi amoniak, dan produksi nitrit, namun suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan kematian pada ikan dikarenakan ikan tidak dapat mentoleransi suhu lingkungan yang berada di bawah batas toleransi tubuhnya. Hal ini membuat perlu diketahuinya batas toleransi tubuh ikan dalam transportasi ikan menggunakan penurunan suhu.

 

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

             

 

Saran

            Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu sebaiknya menggunakan biota yang lebih beragam seperti biota air laut atau air payau agar pengaruh pemingsanan antara jenis biota tersebut dapat dibandingkan. Perlu dilakukan pengamatan pengaruh bahan lain selain suhu terhadap pemingsanan ikan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Barton and Iwama. 1999. Plasma Cortisol Levels of Fingerling Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss) at Rest and Subjected to Handling, Confinement, Transport, Stocking. Can 1. Fisf.Aquat. Sci,37:805-811p.

 

Berka dan Stuart. 1986. The transport of Live fish. EIFAC Tech. Pap. FAO 3(48): 52.

 

Fauziah RN, Miranti S, dan Agustiawan S. 2012. Pemingsanan ikan mas (Cyprinus carpio) dengan menggunakan esktrak tembakau, ekstrak mengkudu, dan ekstrak cengkeh. [makalah] PKM AI. Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

 

Goenarso D, Suripto dan Susanti K.I 2003. Konsumsi Oksigen, Kadar Gula Darah dan Pertumbuhan Ikan Mas ( Cyprinus carpio) Diberi Pakan Campuran Ampas Kelapa. Jurnal Matematika dan Sains, Vol,8 No.2 Juni 2003. Hal 51 – 56.

 

Greenberg JS. 2002. Comprehensive Stress Management. London, UK: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

 

Harikrishnan, Rani MN, Balasundaram C. 2002. Hematological and biochemical parameters in common carp following herbal treatment for aeromonas hydrophila infections. Aquaculture Journal 221(1): 41-50.

 

Karnila R dan Edison. 2001. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan bertahap terhadap ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam transportasi sistem kering. Jurnal Nature Indonesia III (2):151-167.

 

 

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Produksi Ikan Mas Tahun Ini Bisa Mencapai 380.000 Ton. http://www.kkp.go.id. [4 Juli 2012]

 

Miranti. 2011. Studi Transportasi Ikan Mas (Cyprinus carpio) Menggunakan Sistem Kering dengan Media Busa. [PKM-AI].Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

 

Phillips C. 2002. Cattle Behaviour and Welfare. London, UK: Blackwell Publishing.

 

Porchase MM, Luis R, Martines C, and Ramos R. 2009. Cortisol and Glucose Reliable indicator of Fish. American Journal of Aquatic Sciences. Vol. 4. No.2, 157 – 178p.

 

Suparno J, Basmal I, Muljanah, dan Wiiwowo S. 1994. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan dengan pendinginan bertahap terhadap ketahanan hidup udang windu tambak (Penaeus monodon) dalam transportasi sistem kering. Jurnal Penelitian Paca Panen Perikanan, (79): 73-78

 

Suwandi R dan Saputra D. 2010. Teknologi Penanganan dan Transportasi BiotaPerairan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan.

 

Syamdidi, Ikasari D, Wibowo S. 2006. Studi sifat fisiologis ikan gurami (Osphronemus gourami) pada suhu rendah untuk pengembangan teknologi transportasi ikan hidup. Jurnal pascapanen dan bioteknologi kelautan dan perikanan Vol 1 (1): 75-83.

 

Wibowo. 2002. Kajian sifat fisiologis kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) sebagai dasar dalam pengembangan teknik transportasi hidup. J. Penel. Perik. Jurnal Indonesia Edisi Pasca Panen 8(6): 1-9

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

Lampiran 1 Morfologi ikan mas (Cyprinus carpio)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Koleksi Pribadi (2012)

 

Laporan Transportasi 2

Posted: Agustus 8, 2012 in Transportasi Perairan

Laporan Praktikum ke-2                                     Hari/Tanggal: Jumat/ 6 Juli 2012

m.k.Teknologi Penanganan dan                         Asisten         : Esa Ghanim Fadhallah

       Transportasi Biota Perairan

 

 

 

 

PEMINGSANAN (IMOTILISASI) PADA BIOTA PERAIRAN DENGAN SUHU

 

 

 

 

 

Oleh:

Kelompok 6

  1. Sita Panca Rini                        (C14100054)
  2. Pradana Arthama                     (C24100072)
  3. Prisca Sari Paramudhita         (C34100004)
  4. Sonya Ayu Utari                     (C34100025)
  5. Elvina Melati                          (C34100053)
  6. Theresia Puspita A.                (C34100080)  

 

 

 

 

DEPERTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2012

 

PENDAHULUAN

Latar Belakang

            Ikan mas (Cyprinus carpio) merupakan salah satu komoditas perairan tawar yang cukup berkembang di Indonesia. KKP (2011) menyatakan produksi ikan mas pada tahun 2011 mencapai 380.000  ton, jumlah ini meningkat jika dibandingkan dengan target awal sebesar 280.000 ton. Permintaan masyarakat terhadap ikan mas hidup cukup besar dan harganya pun mencapai tiga hingga empat kali lipat dibanding harga ikan mas mati. Hal ini menyebabkan diperlukannya sistem transportasi yang baik dan benar agar ikan mas dapat bertahan hidup hingga ke tangan konsumen.      

            Transportasi ikan hidup adalah memindahkan biota perairan dalam keadaan hidup dengan diberi tindakan untuk menjaga agar derajat kelulusan hidup (survival rate) tetap tinggi hingga di tempat tujuan.  Transportasi ikan hidup dibagi menjadi dua, yaitu transportasi menggunakan media air atau transportasi basah dan transportasi tanpa media air atau transportasi kering  (Miranti 2011). Metode efektif dalam transportasi ikan adalah menggunakan metode immotilisasi (pemingsanan). Immotilisasi biota peraian bertujuan untuk menurunkan aktivitas, metabolisme, dan respirasi  biota perairan sehingga dapat memperpanjang waktu transportasi (Fauziah et al.2010).

            Imotilisasi pada ikan dapat dilakukan menggunakan suhu rendah. Metode penggunaan suhu rendah dapat dilakukan secara langsung maupun bertahap.  Penanganan suhu rendah membuat ikan hidup dalam kondisi terbius sebelum dikemas dan ditransportasikan. Metode ini bersifat efisien dan aman meskipun risiko kematian pada ikan lebih besar (Karnila dan Edison 2001). Penurunan suhu secara bertahap dan langsung memberikan efek yang berbeda. Hal ini yang membuat perlu dilakukannya percobaan untuk mengetahui pengaruh imotilisasi menggunakan suhu pada ikan.

Tujuan

Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu bertahap bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu terhadap daya tahan biota perairan.

 

BAHAN DAN METODE

 

Waktu dan Tempat

     Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu dilakukan hari Jum’at tanggal 6 Juli 2012. Praktikum dimulai pukul 13.30 WIB sampai pukul 16.30 WIB. Kegiatan dilakukan di laboratorium Karakterisasi Bahan Baku Hasil Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Alat dan Bahan

            Bahan yang digunakan dalam praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu yaitu ikan mas (Cyprinus carpio). Bahan tambahan yang digunakan adalah es batu. Alat utama yang digunakan dalam praktikum ini adalah wadah toples. Alat tambahan yang digunakan adalah thermometer, timbangan akuarium, glukosa meter, dan aerator.

Prosedur Kerja

            Praktikum pemingsanan pada biota perairan dengan suhu dilakukan pada biota ikan mas (Cyprinus carpio) yang telah dipuasakan. Ikan mas tersebut ditimbang untuk mengetahui bobot awal. Ikan mas kemudian dimasukkan ke dalam wadah toples yang sudah diisi air sebanyak 3 L dan dilakukan pula pengukuran suhu sebagai suhu awal serta pencatatan pengukuan bobot awal dan suhu awal pada menit ke-0. Imotilisasi dilakukan dengan penurunan suhu secara bertahap dan langsung dari suhu air normal (suhu kamar) ke  suhu imotil 13 ºC, 14 ºC, dan 15 ºC. Ikan mas pada suhu 13 ºC, 14 ºC, dan 15 ºC tidak mengalami imotilisasi maka setelah pengamatan lebih dari 60 menit, air toples diberi es batu lebih banyak sampai ikan pingsan. Penurunan suhu dilakukan dengan menambahkan es batu ke dalam media ikan secara perlahan hingga suhu yang diinginkan tercapai. Pengamatan dilakukan setiap 15 menit untuk mengetahui respon ikan mas pada berbagai tahap suhu selama proses pembiusan. Diagram prosedur kerja pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu disajikan pada Gambar 1.

 

Pengadaptasian

Pemuasaan

Penimbangan

Pemingsanan bertahap dan langsung

Suhu pembiusan 15oC

Suhu pembiusan 14oC

Suhu pembiusan 13 oC

Waktu pembiusan 60 menit

Pengamatan aktivitas ikan, Penukuran bobot akhir, dan Pengukuran gula darah

Ikan hidup

 

Data

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

                            Keterangan :            : awal dan akhir proses

                                                   : persiapan proses

                                                   : proses

Gambar 1. Diagram alir prosedur kerja

 

 

HASIL DAN PEMBAHASAN

 

            Pemingsanan bertujuan untuk memperpanjang waktu transportasi dengan menekan metabolisme dan aktivitas ikan serta mengurangi resiko stres pada ikan yang dapat mengakibatkan kematian pada ikan (Suparno et al. 1994). Pengamatan pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu dilakukan dengan dua perlakuan yaitu pemingsanan secara bertahap dan secara langsung pada 60 menit pertama. Penggunaan suhu rendah menurut Syamdidi et al. (2006) terbukti efektif untuk mengurangi aktivitas ikan selama transportasi dan meningkatkan ketahanan hidup ikan. Penurunan suhu dapat menekan respirasi dan aktivitas ikan, selain itu penggunaan suhu rendah memungkinkan ikan dapat ditranportasikan dengan menggunakan media bukan air seperti serbuk gergaji lembab yang didinginkan. Pengamatan pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu, mengunakan tiga perbedaan suhu yaitu 13 °C, 14 °C, dan 15 °C. Perlakuan tersebut dilakukan untuk mengamati perubahan perilaku pada ikan mas    (Cyprinus carpio). Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara bertahap pada ikan mas (Cyprinus carpio) disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara bertahap

Perlakuan

Waktu (menit)

0

15

30

40

60

Kontrol

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

13

Lambat

Lambat

Semakin lambat

Semakin lambat

Semakin lambat

14

Normal

Lambat

Lambat

Semakin lambat

Semakin lambat

15

Normal

Normal

Sedang

Lambat

Lambat

            Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa ikan dengan perlakuan suhu 14 °C mulai bergerak lambat pada menit ke- 15. Ikan pada perlakuan suhu 13 °C bergerak lambat pada menit ke-0, sedangkan ikan dengan perlakuan suhu 15 °C mulai bergerak lambat pada menit ke-40. Semua ikan bergerak semakin lambat dari menit ke-0 hingga menit ke-60, kecuali ikan dengan perlakuan kontrol. Suhu 14 °C merupakan suhu yang paling baik untuk pemingsanan ikan jika dibandingkan dengan suhu 13 °C dan 15 °C karena pergerakan ikan lebih cepat melambat pada menit ke-15, meskipun pada suhu 13 °C pergerakan ikan lambat pada menit ke-0,  diduga ikan telah kehabisan energi pada saat pemindahan dari akuarium ke toples. Hasil yang didapat pada praktikum tidak sesuai dengan literatur. Menurut Karnila dan Edison (2001),  suhu yang baik digunakan untuk pembiusan ikan adalah suhu 15 °C jika dibandingkan suhu 12 °C karena tubuh ikan masih normal sedangkan pada suhu 12 °C tubuh ikan menjadi keras dan kaku karena terlalu dingin sehingga banyak ikan yang mati. Berka dan Stuart (1986) menambahkan bahwa pada suhu 15 °C ikan dalam keadaan tenang dan memiliki tingkat metabolisme serta respirasi yang rendah sehingga diharapkan ketahanan hidup di luar habitatnya lebih tinggi. Kondisi ikan yang tenang mempermudah dalam proses pengangkutan selama transportasi karena ikan tidak meronta atau bergerak.  Perbedaan hasil yang didapat dalam literatur diduga disebabkan oleh perbedaan perbedaan bobot ikan yang digunakan. Menurut Syamdidi et al. (2006) jenis ikan juga dapat mempengaruhi pemingsanan ikan, sebagai contoh ikan gurami mengalami pemingsanan pada suhu 13,6 °C, sedangkan ikan mas dalam percobaan mengalami pemingsanan pada kisaran suhu 2 °C – 11 °C.

            Penurunan suhu secara langsung memberikan pengaruh berbeda dengan penurunan suhu secara bertahap pada ikan mas. Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara langsung pada ikan mas disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu secara langsung

Perlakuan

Waktu (menit)

0

15

30

40

60

Kontrol

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

Agresif

13

Normal

Lambat

Lambat

Lambat

Semakin lambat

14

Normal

Lambat

Normal

Agresif

Agresif

15

Normal

Lambat

Lambat

Lambat

Semakin lambat

            Tabel 2 menunjukkan bahwa semua perlakuan pada ikan, kecuali perlakuan kontrol bergerak lambat pada menit ke-15, namun ikan dengan perlakuan suhu 14 °C kembali normal dan agresif pada menit ke-30. Suhu pembiusan secara langsung yang paling efektif adalah suhu 13 °C dan 15 °C karena ikan bergerak lambat pada menit ke-15. Ikan mengalami masa panik pada saat penurunan suhu secara langsung namun ikan dapat dengan cepat beradaptasi dengan suhu tersebut (Boyd 1990 dalam Suwandi dan Saputra 2010). Menurut Wibowo (2002), dalam kajian fisiologis ikan pada suhu rendah, setelah ikan mengalami masa panik, selanjutnya ikan kehilangan keseimbangan, dan terjadi disorientasi sehingga ikan roboh (pingsan). Penambahan es dapat membuat ikan pinsang karena es berfungsi untuk menekan metabolisme ikan selama transportasi dan menyebabkan ikan menjadi tidak aktif (Boyd 1990 dalam Suwandi dan Saputra 2010).

            Pemingsanan dengan perlakuan penyesuaian suhu secara bertahap dan langsung, dapat mempengaruhi kadar gula darah ikan. Perubahan kadar gula darah merupakan pengaruh tingkat stres yang dialami ikan. Pengaruh pemingsanan menggunakan suhu rendah terhadap kadar glukosa darah yang dilakukan dalam percobaan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh Pemingsanan Menggunakan Suhu Rendah Terhadap Kadar Glukosa Darah

Suhu (°C)

Perlakuan

Kadar glukosa (mg/dL)

Kontrol

Kontrol

123

13

Langsung

180

 

Bertahap

173

14

Langsung

116

 

Bertahap

180

15

Langsung

175

 

Bertahap

157

Tabel 3 menunjukkan bahwa kadar glukosa darah tertinggi pada perlakuan secara langsung terdapat pada suhu 13 °C sebesar 180 mg/dL. Kadar glukosa darah terendah terdapat pada suhu 14°C sebesar 116 mg/dL. Kadar glukosa darah tertinggi pada perlakuan penurunan suhu secara bertahap, terdapat pada suhu      14 °C yaitu 180 mg/dL. Kadar glukosa yang terendah terdapat pada suhu 15 °C. Kadar gula darah kontrol sebesar 123 mg/dL. Menurut Harikhrisnan et al. (2002) kadar glukosa darah untuk ikan mas dalam kondisi normal yaitu 135,5 mg/dL. Perbedaan kadar gula darah kontrol yang didapat dengan literatur diduga disebabkan oleh perbedaan bobot ikan, habitat, makanan, umur, dan jenis kelamin.

 Jika dibandingkan dengan kadar glukosa kontrol, rata-rata kadar glukosa darah pada semua perlakuan lebih besar daripada kadar glukosa darah kontrol karena ikan mengalami tingkat stres yang tinggi sehingga membutuhkan energi dengan membentuk glukosa darah yang lebih tinggi. Barton and Iwama (1999) menyatakan tingkat stres yang dialami organisme akan berpengaruh pada sekresi hormonal yang salah satunya akan mempengaruhi kadar gula darah yang dimilikinya. Hormon yang dilepas untuk meningkatkan kadar gula darah bertujuan untuk menyiapkan energi untuk keperluan adaptasi. Goenarso (2003) menambahkan salah satu respon tubuh terhadap stres adalah teraktivasinya epineprin dan norepineprin yang dapat mengakibatkan denyut jantung meningkat dan peningkatan aliran darah ke otot, serta peningkatan kebutuhan O2 dan meningkatnya kewaspadaan mental (Greenberg 2002). Stres pada hewan menimbulkan peningkatan konsentrasi kortisol, peningkatan potensial glikolisis, meningkatnya asam laktat, meningkatnya konduktifitas elektrik, dan menurunnya pH daging postmortem (Porchase et al 2009). Stres juga berdampak pada pertumbuhan, penurunan berat badan, penurunan glikogen, dan penurunan sel leukosit (Phillips 2002). Ikan yang diberi perlakuan awal penurunan suhu sacara bertahap secara umum memiliki kadar gula darah yang lebih rendah dibanding ikan yang mengalami penurunan suhu secara langsung. Hal ini dikarenakan ikan yang diberi suhu secara bertahap akan mengalami aklimatisasi (penyesuaian suhu terhadap lingkungan), sehingga tingkat stres yang dialami ikan lebih rendah. Hal ini yang menyebabkan kadar gula darah pada penurunan suhu secara bertahap lebih rendah dibanding penurunan suhu secara langsung (Syamdidi et al. 2006).

Suhu yang digunakan dalam pemingsanan ikan berpengaruh pada waktu pemingsanan ikan. Grafik hubungan antara waktu pemingsanan dengan suhu yang digunakan untuk membius ikan disajikan pada Gambar 2.

 

Gambar 2. Hubungan antara waktu pemingsanan dengan suhu

            Gambar 2 menunjukkan suhu 7 °C memerlukan waktu pemingsanan paling lama yakni 80 menit, sedangkan suhu  2 °C membutuhkan waktu pemingsanan yang beragam yakni 62 menit, 72,4 menit, dan 68 menit. Perbedaan waktu pemingsanan pada suhu 2 °C disebabkan perlakuan awal yang berbeda yang dialami ikan, karena ikan pada suhu akhir 2 °C mengalami perlakuan awal penurunan suhu 13 °C, 14 °C secara langsung dan penurunan suhu 15 °C secara bertahap. Secara umum semakin rendah suhu lingkungan maka waktu yang dibutuhkan untuk pemingsanan ikan semakin cepat. Syamdidi et al. (2006) menyatakan semakin rendah suhu maka semakin efektif suhu untuk menekan laju respirasi, produksi amoniak, dan produksi nitrit, namun suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan kematian pada ikan dikarenakan ikan tidak dapat mentoleransi suhu lingkungan yang berada di bawah batas toleransi tubuhnya. Hal ini membuat perlu diketahuinya batas toleransi tubuh ikan dalam transportasi ikan menggunakan penurunan suhu.

 

 

KESIMPULAN DAN SARAN

 

Kesimpulan

             

 

Saran

            Praktikum pemingsanan (imotilisasi) pada biota perairan dengan suhu sebaiknya menggunakan biota yang lebih beragam seperti biota air laut atau air payau agar pengaruh pemingsanan antara jenis biota tersebut dapat dibandingkan. Perlu dilakukan pengamatan pengaruh bahan lain selain suhu terhadap pemingsanan ikan.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Barton and Iwama. 1999. Plasma Cortisol Levels of Fingerling Rainbow Trout (Oncorhynchus mykiss) at Rest and Subjected to Handling, Confinement, Transport, Stocking. Can 1. Fisf.Aquat. Sci,37:805-811p.

 

Berka dan Stuart. 1986. The transport of Live fish. EIFAC Tech. Pap. FAO 3(48): 52.

 

Fauziah RN, Miranti S, dan Agustiawan S. 2012. Pemingsanan ikan mas (Cyprinus carpio) dengan menggunakan esktrak tembakau, ekstrak mengkudu, dan ekstrak cengkeh. [makalah] PKM AI. Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

 

Goenarso D, Suripto dan Susanti K.I 2003. Konsumsi Oksigen, Kadar Gula Darah dan Pertumbuhan Ikan Mas ( Cyprinus carpio) Diberi Pakan Campuran Ampas Kelapa. Jurnal Matematika dan Sains, Vol,8 No.2 Juni 2003. Hal 51 – 56.

 

Greenberg JS. 2002. Comprehensive Stress Management. London, UK: Library of Congress Cataloging-in-Publication Data.

 

Harikrishnan, Rani MN, Balasundaram C. 2002. Hematological and biochemical parameters in common carp following herbal treatment for aeromonas hydrophila infections. Aquaculture Journal 221(1): 41-50.

 

Karnila R dan Edison. 2001. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan bertahap terhadap ketahanan hidup ikan jambal siam (Pangasius sutchi F) dalam transportasi sistem kering. Jurnal Nature Indonesia III (2):151-167.

 

 

[KKP] Kementrian Kelautan dan Perikanan. 2011. Produksi Ikan Mas Tahun Ini Bisa Mencapai 380.000 Ton. http://www.kkp.go.id. [4 Juli 2012]

 

Miranti. 2011. Studi Transportasi Ikan Mas (Cyprinus carpio) Menggunakan Sistem Kering dengan Media Busa. [PKM-AI].Bogor: Departemen Budidaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

 

Phillips C. 2002. Cattle Behaviour and Welfare. London, UK: Blackwell Publishing.

 

Porchase MM, Luis R, Martines C, and Ramos R. 2009. Cortisol and Glucose Reliable indicator of Fish. American Journal of Aquatic Sciences. Vol. 4. No.2, 157 – 178p.

 

Suparno J, Basmal I, Muljanah, dan Wiiwowo S. 1994. Pengaruh suhu dan waktu pembiusan dengan pendinginan bertahap terhadap ketahanan hidup udang windu tambak (Penaeus monodon) dalam transportasi sistem kering. Jurnal Penelitian Paca Panen Perikanan, (79): 73-78

 

Suwandi R dan Saputra D. 2010. Teknologi Penanganan dan Transportasi BiotaPerairan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan.

 

Syamdidi, Ikasari D, Wibowo S. 2006. Studi sifat fisiologis ikan gurami (Osphronemus gourami) pada suhu rendah untuk pengembangan teknologi transportasi ikan hidup. Jurnal pascapanen dan bioteknologi kelautan dan perikanan Vol 1 (1): 75-83.

 

Wibowo. 2002. Kajian sifat fisiologis kerapu lumpur (Epinephelus tauvina) sebagai dasar dalam pengembangan teknik transportasi hidup. J. Penel. Perik. Jurnal Indonesia Edisi Pasca Panen 8(6): 1-9

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

 

Lampiran 1 Morfologi ikan mas (Cyprinus carpio)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Koleksi Pribadi (2012)