PBB Belut

Posted: Agustus 8, 2012 in pbb

Laporan Praktikum IV                                                   Asisten: Euis Nur Aisyah

m.k. Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan

 

PENGUKURAN RENDEMEN DAN ANALISIS KADAR ABU PADA BELUT  SAWAH (Monopterus albus)

 

Prisca Sari Paramudhita (C34100004)

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

 

8 Mei 2012

 

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di Indonesia adalah belut sawah (Monopterus albus). Belut sawah merupakan jenis ikan yang bernilai ekonomis tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun 2008 berdasarkan buku laporan statistik perikanan budidaya provinsi Jawa Barat sebesar 123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton. Praktikum analisis proksimat pada belut sawah (Monopterus albus) bertujuan untuk mengetahui komposisi kimia pada belut sawah. Praktikum analisis proksimat pada hari Selasa, 8 Mei 2012 di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan. Hasil perhitungan rendemen menunjukkan ikan belut memiliki berat rata rata 56 gram, rendemen daging sebesar 44,11%, tulang 13,89%, kepala 17,30%, kulit 6,65%, dan jeroan sebesar 18,05%. Analisis proksimat yang dilakukan pada belut menunjukkan ikan belut mengandung kadar air sebesar 78,81%, kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar lemak sebesar 0,12%.

 

Kata kunci: analisis proksimat, belut sawah, rendemen

 


PENDAHULUAN

 

            Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kekayaan sumber daya perairan yang sangat besar. Kekayaan perairan yang dimiliki Indonesia tidak hanya dilihat dari segi kuantitas, namun juga keragamannya. Salah satu sumberdaya perairan yang potensial di negara Indonesia adalah ikan belut sawah (Monopterus albus). DJPB (2012) menyatakan belut adalah salah satu komoditas perikanan yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi karena telah memasyarakat dan tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, salah satunya di Jawa Barat. Produksi belut di Jawa Barat pada tahun 2008 sebesar 123,98 ton dan pada tahun 2009 meningkat menjadi 152,46 ton. Sarwono (2003) menyatakan belut merupakan salah satu komoditas ekspor yang mendapat devisa tinggi di Taiwan dan RRC.

Belut sawah tersebar luas di Asia Tenggara dan Cina. Organisme ini di Pulau Jawa dikenal dengan nama belut, lindung, dan welut, sedangkan di Madura dikenal dengan nama beludi, dan di Sumatera disebut belan. Belut merupakan komoditas ekspor yang tempat hidupnya berada di daerah berlumpur seperti sawah, rawa dan sungai-sungai. Klasifikasi belut sawah menurut Saanin (1984) dalam Santoso (2001) adalah sebagai berikut:

Kingdom         : Animalia

Filum               : Chordata

Kelas               : Pisces

Ordo                : Synbranchoidae

Famili              : Synbranchidae

Genus              : Monopterus

Spesies            : Monopterus albus

Ikan belut sawah mempunyai bentuk tubuh panjang dan bulat seperti ular, tapi tidak bersisik dan memiliki mata yang kecil. Sirip dubur dan sirip punggung berubah menjadi sembulan kulit yang tidak berjari-jari. Belut tidak memiliki sirip perut dan sirip dada. Kulitnya licin karena mengeluarkan lendir. Bagian dada pada belut lebih panjang dari bagian ekor. Tinggi badan belut kurang lebih 1/20 kali panjang tubuhnya. Belut memiliki punggung berwarna kehijauan dan bagian perut kekuningan, lengkung insang terdiri dari tiga pasang, bibirnya berupa lipatan kulit yang lebar di sekeliling mulut, dan gigi belut kecil runcing berbentuk kerucut (Sundoro 2005)

            Ikan belut betina umumnya berukuran panjang antara 10-29 cm, dengan warna kulit lebih cerah atau lebih muda (hijau muda pada punggung dan putih kuning pada perutnya) dibanding ikan belut jantan. Belut betina umumnya memiliki umur kurang dari sembilan bulan. Ikan belut jantan rata-rata memiliki panjang lebih dari 30 cm, berumur lebih dari sembilan bulan dan memiliki warna kulit lebih gelap atau abu-abu (Sarwono 1994 dalam Santoso 2001) Morfologi ikan belut dapat dilihat pada Lampiran 1.

Warna kulit belut terlihat berkilau dengan gurat sisi yang tampak jelas untuk menjaga keseimbangan belut. Ukuran kepala belut biasanya lebih besar atau sedikit lebih tinggi daripada tubuhnya. Belut sawah termasuk hewan karnivora, memiliki lambung yang besar, palsu, tebal, dan elastis. Hasil analisis isi lambung belut mengungkapkan bahwa ikan belut sawah termasuk ikan karnivora dengan makan utama annelida yang umumnya ditemukan di persawahan dataran rendah dan larva insekta yang umumnya ditemukan di daerah persawahan dataran tinggi (Sarwono 2003).

Belut berbeda dengan sidat. Sidat memiliki sirip dada, punggung, dan sirip dubur yang sempurna. Sidat memiliki sisik-sisik kecil yang berkumpul dalam kumpulan kecil yang masing-masing kumpulan terletak miring pada sudut siku terhadap kumpulan-kumpulan di sampingnya (Wang et al. 2009). Perbedaan belut dengan sidat adalah belut tidak memiliki sirip, kecuali sirip ekor yang juga tereduksi. Ciri khas belut yang lain adalah tidak bersisik, dapat bernafas dari udara, bukaan insang sempit, tidak memiliki kantung renang, dan tulang rusuk. Belut merupakan hewan air darat, sementara kebanyakan sidat hidup di laut, walaupun ada pula yang di air tawar (Qing et al. 2008).

Belut sawah dapat dibersihkan dengan melumuri abu gosok ke seluruh permukaan tubuhnya sampai lendir hilang. Abu gosok memiliki daya serap tinggi dan bentuknya yang kasar mudah menyerap lendir dan mengangkat lendir yang masih terikat pada kulit. Pembersihan  lendir pada belut membutuhkan tiga kali pemberian abu gosok. Pengkulitan daging belut  dapat dilakukan bagi yang ahli (Sundoro 2005).

Komposisi kimia dan kegunaan suatu bahan dapat diketahui dengan menggunakan analisis proksimat. Cara ini dikembangkan dari Weende Experiment Station di Jerman oleh Henneberg dan Stokman pada tahun 1865, dengan menggolongkan komponen yang ada pada makanan (Utomo 2000). Analisis proksimat yang dilakukan bertujuan untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung  dalam makanan (Tilman et al. 2001). Tujuan dilakukannya praktikum ini adalah mengetahui rendemen dan analisis proksimat pada belut sawah.

 

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Praktikum analisis proksimat dan rendemen pada belut sawah  (Monopterus albus) dilakukan pada hari Selasa, 8 Mei 2012 pada pukul 10.30 WIB sampai pukul 13.00 WIB di Laboratorium Karakteristik Bahan Baku Teknologi Industri Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu belut sawah (Monopterus albus), es batu, dan abu gosok. Alat yang digunakan untuk preparasi dan perhitungan kadar abu belut sawah adalah wadah, telenan, pisau, tissue, alumunium foil, cawan porselen, oven, desikator, tanur, timbangan analitik, dan alat tulis.

Prosedur Kerja

Praktikum ikan belut sawah (Monopterus albus) dimulai persiapan sampel berupa 2 ekor belut yang telah mati. Belut kemudian ditimbang dengan timbangan analitik. Belut dipreparasi dengan dilumuri abu gosok. Pemberian abu gosok berguna untuk menghilangkan lendir pada belut. Belut di fillet sepanjang tulang punggung dan di-skinless untuk menghilangkan kulit. Bagian belut berupa kepala, daging, tulang, kulit dan jeroan kemudian dipisahkan untuk ditimbang. Hasil perhitungan kemudian diolah untuk  mendapatkan nilai rendemen belut.

Analisis kadar abu pada belut sawah dimulai dengan pencacahan sampel yang kemudian dibungkus dengan alumunium foil. Sampel kemudian ditimbang. Cawan kosong dikeringkan ke dalam tanur lalu didinginkan di dalam desikator dan ditimbang. Sampel kemudian dimasukkan ke dalam cawan dan ditanurkan pada suhu 600 oC. Cawan yang berisi abu kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang dengan timbangan analitik. Diagram alir prosedur kerja kadar abu disajikan pada Gambar 1.

Pemasukkan sampel dalam cawan, pemijaran, pemasukan 1 jam dalam tanur 600 oC

 

Penimbangan

Sampel belut sawah

Pengeringan 1 jam dalam oven 105 oC

Pendinginan dalam desikator ±15 menit

 

Penimbangan

Kadar abu

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 1  Diagram alir analisis kadar abu ikan belut

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen adalah proporsi dari bahan baku yang dapat dimanfaatkan (Utomo 2000). Rendemen dihitung dari bobot sampel per bobot total. Rendemen dihitung untuk memperkirakan persentase bagian tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan. Hasil pengukuran rendemen ikan belut sawah disajikan pada Lampiran 3.

Hasil praktikum menunjukkan rendemen daging ikan belut sawah rata-rata yang didapat sebesar 44,11%. Penelitian yang dilakukan              Sulistyarini (2002) menyatakan rendemen daging belut adalah     60,25%. Jumlah tersebut termasuk kategori yang cukup besar karena menurut Tanikawa (1971) dalam       Sulistyarini (2007) rendemen ikan secara umum sekitar 40%. Menurut Sulistyarini (2007) semakin kecil ukuran ikan maka proporsi berat yang dapat dimakan semakin besar. Persentase rendemen yang bervariasi antar jenis ikan ditentukan oleh bentuk tubuh, makanan, dan umur yang dimiliki ikan.

Pengukuran rendemen jeroan yang didapat sebesar 17,30%, rendemen kulit sebesar 6,65%, rendemen kepala sebesar 17,29% dan  rendemen tulang sebesar 13,89%. Rendemen terbesar terdapat pada daging yakni 44,11%. Rendemen terkecil terdapat pada kulit sebesar 6,65%. Diagram pie rendemen ikan belut disajikan pada Lampiran 4.

Pemanfaatan belut umumnya digunakan sebagai ikan konsumsi. Menurut Sulistyarini (2007) belut berpotensi dijadikan kerupuk kulit dan kamoboko. Belut juga dapat dijadikan sosis ikan, bakso, dan berbagai variasi makanan lain. Hal ini disebabkan kandungan protein belut yang tergolong tinggi sekitar 14 gram dalam 100 gr belut. Kepala belut berpotensi untuk dijadikan obat kuat, jeroan belut dapat dimanfaatkan sebagai pakan, kulit belut dapat dijadikan bahan baku pembuatan kerupuk, dan tulang belut dapat dijadikan tepung ikan.

Analisis proksimat bertujuan mengidentifikasi komposisi kimia belut sawah (Monopterus albus). Analisis proksimat memiliki beberapa keunggulan yakni merupakan metode umum yang digunakan untuk mengetahui komposisi kimia suatu bahan pangan, tidak membutuhkan teknologi yang canggih dalam pengujiannya, menghasilkan hasil analisis secara garis besar, dapat menghitung total digestible nutrient (TDN) dan dapat memberikan penilaian secara umum pemanfaatan dari suatu bahan pangan. Analisis proksimat juga memiliki beberapa kelemahan diantaranya tidak dapat menghasilkan kadar dari suatu komposisi kimia secara, tidak dapat menjelaskan tentang daya cerna serta testur dari suatu bahan pangan  (Utomo 2000).

Analisis proksimat yang dilakukan menunjukkan ikan belut sawah mengandung kadar protein sebesar 15,76%, kadar lemak sebesar 0,12%, kadar air sebesar 78,81%, dan kadar abu sebesar 0,33%. Komposisi kimia belut tiap 100 gram menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) mengandung protein sebesar 14 gram, lemak 27 gram, kalori 303 kal, kalsium 20 mg, forfor 200 mg, besi    1 mg, vitamin A 1600 SI, dan kadar air sebesar 58 gram.

Abu merupakan residu anorganik dari proses pembakaran atau oksidasi komponen organik bahan pangan. Proses pembakaran menyebabkan bahan-bahan organik terbakar, tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 2008). Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan total mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut. Mineral yang paling penting dalam bahan pangan diantaranya kalsium (Ca), fosfor (P), magnesium (Mg), mangan (Mn), kobalt (Co), besi (Fe), tembaga (Cu), natrium (Na), klor (Cl), kalium (K), yodium (I), dan flour (F). Prinsip pengujian kadar abu (total mineral) dalam bahan pangan ditentukan dengan menimbang sisa mineral hasil pembakaran bahan organik pada suhu sekitar 550 oC – 600 oC          (Muchtadi dan Ayustaningwarno 2010). Hasil pengujian kadar abu total menunjukkan kadar abu yang terdapat pada belut sawah sebesar 0,33%. Muchtadi dan Ayustaningwarno (2010) menyatakan Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi kandungan kadar mineral sebesar 7%. Hal ini menunjukkan kadar abu yang dimiliki belut sawah tergolong rendah. Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) menyatakan belut memiliki kandungan kalsium sebesar 20 mg/100 gram, fosfor sebesar 200 mg/100 gram, dan zat besi sebesar 1 mg/100 gram. Jika dalam dinyatakan dalam bentuk persentase, total mineral yang dikandung belut     < 0,33% dari total berat bahan.

Hasil kadar abu yang didapat jauh lebih tinggi dibandingkan hasil dari Sarwono (1994) dalam Santoso (2001). Hal ini dapat disebabkan pengaruh pemberian abu gosok pada belut. Rahman (2004) menyatakan abu gosok merupakan sisa bahan anorganik yang didapat dari pembakaran suatu bahan, sehingga abu gosok juga mengandung sejumlah  mineral.

Proses preparasi ikan belut sawah yang tidak memperhatikan aspek sanitasi memungkinkan mineral dalam abu gosok turut tercampur dalam daging belut. Hal ini dapat terlihat dari persentase kadar abu yang didapat. Kadar abu yang didapat dari praktikum sebesar 0,33% sementara kadar abu belut sawah menurut Sarwono (1994) dalam Santoso (2001) <0,25%. Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Ozogul dan Ozogul (2005) dalam Sulistyarini (2007) komposisi kimia suatu bahan pangan ditentukan oleh jenis spesies, makanan, musim, letak geografis, tingkat kematangan gonad, dan ukuran ikan. Kadar mineral merupakan salah satu komposisi kimia bahan pangan, sehingga faktor-faktor tersebut turut mempengaruhi kadar mineral suatu bahan. Santoso (2001) menyatakan setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme yang hidup di dalamnya. Masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu dalam masing-masing bahan.

 

SIMPULAN DAN SARAN

            Belut sawah merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang dapat dibudidayakan. Saat ini belut sudah menjadi komoditas ekspor ke beberapa negara. Belut memiliki kandungan gizi yang baik. Analisis proksimat pada belut dilakukan untuk mengetahui kadar air, kadar protein , kadar lemak, dan kadar abu belut. Belut sawah (Monopterus albus) memiliki kadar air sebesar 78,81%, kadar abu 0,33%, kadar protein 15,76%, dan kadar lemak sebesar 0,12%.

Praktikum analisis proksimat belut perlu menggunakan belut dari spesies yang berbeda agar dapat mengetahui perbandingan komposisi kimia dari spesies yang berbeda tersebut.

 

DAFTAR PUSTAKA

[DJPB] Ditjen Perikanan Budidaya. 2012. Belut, komoditas ekspor yang sudah dapat dibudidayakan.http://www.kkp.go.id. (13 Mei 2012).

 

Muchtadi TR dan Ayustaningwarno F. 2010. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bandung: Alfabeta.

 

Qing H, Li L, Tao W, Daming Z, Qing-Yin Z. 2008. Purification and partial characterization of glutathione transferase from the teleost Monopterus albus. Comparative Biochemistry and Physiology Part C: Toxicology & Pharmacology. Vol 147 (1): 96-100.

 

Rahman S. 2004. Belut untuk nyeri ulu hati hingga vitalitas. htpp://www.kompas.co.id. (13 Mei 2012).

 

Sarwono B. 2003. Budidaya Belut dan Sidat. Jakarta: PT. Penebar Swadaya.

 

Santoso HB. 2001. Belut Pemeliharaan dan Pembesaran.Yogyakarta: Kanisius.

 

Sulistyarini D. 2007. Pemanfaatan belut (Monopterus albus) dalam pembuatan keripik. [skripsi] Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut pertanian Bogor.

 

Sundoro RMS. 2005. Belut Budidaya dan Pemanfaatannya. Jakarta: Agromedia.

 

Tilman AD, Hartadi H, Reksohadiprodjo S, Prawiro K, dan Lebdosoekoekojo S. 2001. IlmuMakananTernakDasar. Yogyakarta: Gajah mada University Press.

 

Utomo R. 2000. Bahan Pakan dan Formulasi Ransum. Yogyakarta: Fakultas Peternakan UGM

 

Wang X, Gong H, Yang  J, Lin T. 2009. Purification of Anguilla anguilla serum imunoglobulin by euglobulin precipitation. Fujian Journal of Agricultural Sciences; Vol 9 (03): 103-108.

 

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: M-Brio Press.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

LAMPIRAN

Lampiran 1 Morfologi belut  sawah (Monopterus albus)

Sumber : Koleksi pribadi (2012)

Lampiran  2  Perhitungan kadar abu belut sawah (Monopterus albus)

Pengulangan 1:    cawan kosong                             = 23,85    gram

Sampel awal                                = 3,10      gram

Berat cawan + sampel kering      = 23,86    gram

 

Pengulangan 2:    cawan kosong                             = 40,19    gram

Sampel awal                                =  3,06     gram

Berat cawan + sampel kering      =  40,22   gram

 

Kadar abu     = berat abu/berat sampel awal x 100%

Hasil Perhitungan

Pengulangan 1

Kadar abu =

Kadar abu = 0,32%

 

Pengulangan 2

Kadar abu =

Kadar abu = 0,33%

Kadar abu rata-rata     =  (0,32%  + 0,33%)/ 2

Kadar abu rata-rata     =  0,325% 0,33%

 

Lampiran 3 Hasil rendemen belut sawah (Monopterus albus)

Kelompok Ulangan Berat awal (gr)

Rendemen

Daging (%) Tulang (%) Kepala (%) Kulit (%) Jeroan (%)
1 A 68 47,06 10,29 11,77 8,82 22,06
  B 47 55,32 17,02 10,64 6,38 10,64
2 A 57 49,12 12,28 12,28 7,02 19,30
  B 42 52,38 11,90 11,90 4,76 19,00
3 A 55 50,90 12,7 7,27 9,09 20,04
  B 62 43,50 14,51 4,83 8,06 29,03
4 A 42 47,60 14,28 11,90 4,76 21,46
  B 54 50,00 9,25 9,25 7,40 24,00
5 A 72 51,39 25,00 6,94 8,33 8,34
  B 49 51,03 28,57 8,16 6,12 6,12
6 A 46 54,34 15,22 8,70 6,52 15,22
  B 57 50,80 14,04 12,28 8,77 14,04
7 A 65 46,20 12,30 6,20 6,20 29,10
  B 63 41,30 14,30 7,90 7,90 28,60
8 a 46 47,83 10,87 6,52 4,35 30,43
  b 74 54,05 10,81 10,81 10,81 3,52
Rata-rata 56 44,11 13,89 17,29 6,65 18,05

 

Lampiran 4 Diagram pie rendemen belut sawah (Monopterus albus)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Keterangan: (      ) rendemen kulit   ; (      ) rendemen jeroan; (      ) rendemen daging; (      ) rendemen tulang dan kepala

 

 

 

 

Tinggalkan komentar